header photo

sajaK kEmaRau sIaNG

Mentari terik hinggapi kulit
Sang musafir tambah pelik
matanya berdelik,keringatnya pelit
nyalakan pematik,
rokok sebatang tantang langit
morat-marit

teman bayangan

Mari kita mengenang
Tentang bayangan
Hitamlah dia
Di tanah saja
Di injak-injak

Jadi demikian aku
Hanya sebuah bayang

tentang duri mawar dan kelopak merahnya

dia mawar
dan dia berkelopak merah
kupikir itu adalah keindahan
mungkin juga adalah luka
bukankah merah adalah darah?

dia mawar
dan dia bertangkai duri
kupikir itu adalah proteksi
mungkin juga adalah kesepian
bukankah duri urungkan niat orang menyentuh?

maaf jika kamu terluka
karna ku tak mampu menyentuhmu

sampai kapan setangkai mawar merah berduri diam sendiri?
berbagilah jangan enggan




hanya tuLIsaN seAdanya, mungkin untukku semata, pun mungkin untuk dia


Bookmark and Share

Tentang mawar merah

Hai mawar aduhai,
merah nian kecap rasa mataku terbuai,
melayang serangga saat kelopakmu memuai
kagumku padamu kau tuai

andai..., ijinkan ku berandai
tentang gemulai, langkah tari penari di atas lantai
tentang keelokan, pedar keemasan senja di atas pantai
pun tentangmu dalam andai tak dapat kutakar nilai

duhai mawar,
haruskah ku tawar?
tentang malam yang terlalu wajar?
saat tiada ada diriku denganmu berjajar?

baiknya ku banyak belajar,
adanya kau yang bukan menjalar,

tunggu hingga bayangmu ku kejar,
saat mentari pagi selipkan sinar


harapku padamu kugapai

saat waktu yang berbicara 5

wahai waktu...
perlihatkan rupa asali mu
tentang ketiadaan, keberadaan dan keabadian



akhir dari saat waktu yang berbicara

IndeKs :

saat waktu yang berbicara 4

wahai waktu...
sisakan sedikit jejak tintamu
tentang kelahiran, perjalanan hidup, dan kematian


IndeKs :

saat waktu yang berbicara 3

wahai waktu...
goreskan tinta kemalangan
tentang perjuangan, keadilan, dan hak asasi


IndeKs :

saat waktu yang berbicara 2

wahai waktu...
jangan permainkan jiwa
tentang harapan, bakat, dan cita



IndeKs :

saat waktu yang berbicara 1

wahai waktu...
mainkan bagiku sebuah kebencian
tentang cinta, pengorbanan, dan perubahan

merah dan hitam

andai kau warna merah
'kan kupakai warnamu menghias sketsa mawarku

andai kau lembaran hitam
izinkan kuhapus sebulat hitam di pojok kanan lembaranmu,
kan kubentuk bulan

andai saja ada waktu itu kita jumpa
dalam malam berbulan kan kuberi padamu lukisan mawarku

hitam dan merah

PROTES (Calon Presiden Gila)

Suatu ketika di sebuah negeri, Negeri Gorengan, sedang menantikan perhelatan akbar pemilihan presiden yang direncanakan akan diselenggarakan secara langsung, bebas, dan rahasia.

Sebuah partai politik berpengaruh di negeri itu, Partai Yang Kita Cintai, sedang melangsungkan rapat agung. Rapat yang mengagendakan usulan calon presiden yang akan mereka usung dalam pemilihan presiden nanti.

"Menurut saya, kita lebih baik menjadikan Sutanto menjadi kandidat dari Partai Yang Kita Cintai" usul Dr. Sukanto, seorang elite politik yang berlatar belakang Matematika. "Peluang kemenangan Partai Yang Kita Cintai akan sangat besar, karena sebagai tokoh masyarakat, saudar Sutanto memenuhi semua prasyarat yang telah kita sepakati" lanjut Dr. Sukanto.

PROTES (naiknya Harga)

Alkisah di sebuah negeri, Negeri Gorengan, terjadilah sebuah kegemparan. Gempar yang menggelegar, gelegar yang pertama-tama dirasakan Pak Presiden negeri gorengan. Pak Presiden gundah, cemas, dan bisa jadi menggigil karenanya.

Apa sebab???

Seminggu sebelumnya, Pak Menteri Listrik memberitahukan tentang daya listrik di negeri gorengan tak akan mencukupi kebutuhan listrik seluruh rakyat negeri gorengan. Belum lagi defisit yang terjadi karena pembuatan listrik selama ini benar-benar sudah menyetrum kas dana Negeri Gorengan.

Tiga hari sebelumnya, Pak Menteri Minyak memberitahukan bahwa minyak sedang langka di negeri gorengan. Jadi ingin mengalihkan pemakaian minyak ke gas. Masalahnya tabung gas itu kan besar, dan belum lagi produksi tabung juga perlu biaya.

Dua hari sebelumnya, Pak Menteri Bensin memberitahukan bahwa bahan baku pembuat bensin semakin menipis di negeri gorengan. Biaya pembuatan Bensin pun semakin licinnya, semakin mahal, semakin menggila.

Sehari sebelumnya, Pak Penjaga Lalu-lintas memberitahukan bahwa semakin rumitnya membuat Surat Tanda Nomor Kendaraan. Belum lagi, anak buah Pak Penjaga Lalu-lintas minta naik gaji, karena perut mereka perlu diisi sesuai dengan volume perut yang semakin membuncit.

Pak Presiden pun susah tidur karenanya. Kantung matanya semakin melebar, semakin besarlah tempat air matanya tersimpan. Dan karena tempat penyimpanan air mata yang semakin membesar itu, alhasil, tak perlulah Presiden menangis, toh kapasitas penyimpanan air mata kan sudah mumpuni? Pak Presiden jadi lupa cara menangis.

"Bagaimana ini?" tanya Pak Presiden dalam hati.

"Dapatkah rakyatku menanggung semua ini?" tanya Pak Presiden juga masih dalam hatinya.

Pak Presiden bergumul sendirian dalam hatinya. Gundah, cemas, dan bisa jadi menggigil karenanya.

Akhirnya, dalam pergulatan batinnya sejam suntuk, Pak Presiden dapat ilham.

"Aku harus pertama-tama lihat dahulu reaksi rakyatku" juga masih dalam hatinya Pak Presiden bergumam.

PROTES

mereka berkata: "hujat, hina, bakar"
suaranya terdengar ke mana-mana
sama seperti abu dibawa angin

mereka berkata: "satu kata, satu gerakan, satu derita"
jangan-jangan cuma ide dari satu kepala?
jangan-jangan kepala yang lain itu fatamorgana?

suara mereka apa mungkin menembus gerbang utama?
suara mereka apa mungkin mengetuk ruangan si adi kuasa?
suara mereka apa mungkin terdengar si adi kuasa?

sia-sia

kataku: "pak penjaga keamanan, titip salam ku bagi si adi kuasa"

TaNGan maSA DEpan

Entah karena angin apa (mungkin karena masuk angin ^^), seorang Raja di sebuah negeri, Negeri Gorengan, melakukan perjalanan dengan anaknya, Sang Putra Mahkota. Unt menyamarkan diri, demi menghindari ekspose dari media massa, Raja dan juga Sang Putra Mahkota tidak mengenakan pakaian kerajaan. Mereka hanya mengenakan pakaian layaknya bangsawan biasa. Sebetulnya raja ingin menggunakan pakaian rakyat jelata, tapi apa daya, di istana tidak tersaji pakaian seperti itu. Semenjak Raja naik tahta, perekonomian di Negeri Gorengan berkembang pesat, terutama di sektor ekspor goreng-gorengan (cont: tempe goreng, tahu goreng, risoles, ubi goreng dkk).

Dalam perjalanan, Raja membawa serta berbagai macam makanan. Ada es krim, ada cokelat, ada permen, ada berbagai macam makanan (sangat) ringan, dan tak lupa juga sejumlah gorengan.

"Ayah, mengapa kita membawa banyak makanan seperti ini?" tanya Sang Putra Mahkota.

tandus dan kami

Tetapi bumi akan tandus oleh penduduknya, sebagai akibat perbuatan mereka (Mikha 7: 13)

Bukankah kami diberikan rasio oleh Pencipta kami?

Karna itu, saat panas di luar kami memilih untuk menyalakan AC ketimbang baling-baling kipas angin?
Juga demikian, tisu berlembar-lembar ketimbang sapu tangan, yg harus di cuci tiap harinya sehabis di pakai?

Bukankah kami mampu menghasilkan pertimbangan yg bijak?

Maka kami gali lebih dalam, ke dasar bumi, pipa Jet Pam kami demi setetes air, ketimbang berhitung dan berhemat memakai air.
Senada dengan itu, kami persempit, kl bisa bahkan kami tutup, lubang selokan di depan rumah kami, agar semakin luaslah halaman rumah, dan mobil kami pun dapat diparkir.

Bukankah kami menghargai waktu sedemikian juga uang?

Jadi alangkah baik jika masing-masing kami, tiap kepala, menggunakan kendaraan pribadi beserta polusi yg dihasilkannya, ketimbang berdesak-desakan dgn puluhan orang, bahkan ratusan, yang juga mengeluarkan polusi?

Sesungguhnya ini karena kami.

dalam perjalanan ke siantar city, 5 juni 2010

B E R T E K U N

Teruntuk diriku sebagai seorang gelandang(an), Lina br. Pardede seorang Putri Malam, dan juga seekor rajawali bersayap patah yang kusebut dengan Mimi br. Marbun.

---=*=---

Saat ada sekat antara harapan dan kenyataan, dan sekat itu terasa smakin melebar

Saat keadaan menjadikan semua yang ada menjadi tak ada

Saat pengertian semakin menghilangkan arti

Saat justru diri sendiri menjadi eksistensi yang disesali.

Maka jangan bertindak terlalu cepat,

Maka jangan menyimpulkan,

Maka jangan mengambil jalan pintas,

Hanya...

Mungkin ini saat untuk bertahan.
Bertahan lebih lama lagi.
Sampai Allah menuntun dan mengajar dengan sempurna.

Jangan sampai pudar warna surya dan kehangatannya.



Jabat hangat,

seorang gelandang(an)

ALAm terancam

sang cahaya tersembunyi
di balik awan yang menghitam
lukisan langit di penghujung biru

burung gereja rentangkan sayap, tak mengepak
burung bangau beriring dalam formasi
ruang horizon di atas sawah

pohon pinus penuhi dolok* yang di sana sana
sawah menguning, ada juga yang baru menguning
sketsa desa hadirkan ketenangan

entah kapan ini semua tetap ada?
laju pembangunan sayup-sayup terdengar

porsea, 30 juni 2010


keterangan: Dolok = Bukit

wAnitA berBaju indian dan MonYET

Seekor monyet menanti di atas pohon. Seperti yg sudah-sudah, hanya satu yg diharapkannya. Melihat wanita berbaju indian dari atas pohon, tempat dia bergantung. Monyet menanti.

Seperti di pagi hari yang sudah-sudah, wanita berbaju indian bermain di taman, 'Taman Yang Indah'. Ada bunga di sana, ada pohon yang setinggi badannya, ada juga pohon yang dua kali tinggi badannya, hingga ada juga yang menjulang teramat tinggi.

Dari pohon yg menjulang teramat tinggi di 'Taman Yang Indah', monyet tersenyum melihat kedatangan wanita berbaju indian. Monyet tersenyum.

N E L A y A n

Hari telah malam, tinggal beberapa jam hari akan berganti. Namun sebelum berganti, umumnya manusia menjalani pergantian hari dengan lelap, setidaknya itu dilakukan oleh si anak semata wayang di kamar sederhananya.

"Selamat malam nak" ucap si bapak mengantarkan si anak semata wayang terlelap di kamarnya yang sederhana. Papan berlapis sebagai dinding dan kain bekas seprai disulap menjadi penutup kamar, menggantikan peran pintu yang tak mampu dibeli si bapak.

Mungkin memang benar adanya jika sampai saat ini si bapak tidak membeli dompet. "Dompet kan digunakan sebagai tempat menyimpan uang yang tersisa maupun yang tersimpan tiap harinya. Namun bagi seorang nelayan seperti bapak, yang tidak selalu memiliki uang untuk disimpan tiap harinya, rasanya membeli dompet hanyalah pemborosan semata" demikian jawab si bapak saat si anak semata wayang menunjuk kepada penjual dompet di pasar tradisional.
Search Engine Optimization