header photo

Akulah pemburu

Akulah pemburu
memburu lemahmu,
menantimu di titik nadirmu,
berupaya memanahmu dengan busur hatikuku sendiri
taklukkan dirimu
tertancapnya hatiku padamu

Akulah pemburu
memburu kesahmu
menanti kering ludahmu
burupaya meringkusmu dengan jaring kata-kata penguatan
taklukkan dirimu
terbelenggunya ketegaran yang kembali meringkusmu

akulah pemburu
dan kaulah buruanku

kutuliskan "mengapa?" bagi kami semua

mengapa kau hamburkan,
sesuatu yang bahkan belum juga punyamu?

mangapa mukamu bermesum duka,
sedangkan ekormu mengibas-kibas manja?

mengapa kau berdiri memimpin,
jikalau hanya nama leluhurmu jadi identitasmu?

mengapa kau pegang keris keramat,
hanya untuk datangkan gaib keberuntungan?

menapa melacur kini intelektualitasmu,
kar'na gunjing integritas isapan jempol semata?

mengapa benakmu sendiri menyerang isi otakmu,
nyatanya hanya seiya-sekata demi orang lain meski tak sejalan pemikiranmu?

mengapa tak kulihat lagi deras keringat,
sebelum kini jutawan rupamu bagi seteguk anggur pragmatis merah?

mengapa sama satu sama lain juga sekitarku,
karena gelombang dari si peniru larutkan percaya diri sendirian?



kutuliskan mengapa dari sebuah buku karya Mochtar Lubis
“Manusia Indonesia Sebuah Pertanggung Jawaban”

BUJANG LAPUK

sudah terbiasa dengan kesakitan
hati

tak terbiasa penolakan terdengar
kuping

sudahlah,...
memang aku begini adanya, saat ini

lagi-lagi cinta kandas,
sebelum dimulai

hatiku mungkin terbuat dari baja
cukup kuat terima penolakan

tapi kupingku bukan dipancang oleh baja
tak cukup kuat diterpa penolakan

mentok lagi deh...
entah sampai kapan


TERPUJILAH TUHAN

terpujilah TUHAN,
dalam kehangatan mentari pagi
saat hamba suciMu masih lelap tidur, keletihan
juga pendosa yang masih tertawa dalam tidurnya

terpujilah Tuhan
dalam kemelaratan hamba yang setia,
saat kecurangan berikan kemakmuran,
hingga si kaya mati dalam keagungan pemakaman

Jadi demikianlah TUHAN
membiarkan hambaNya bertekun, setia sampai akhir
merelakan si jahat tertikam karena kejahatannya, pada waktuNya

tak perlulah ragu akan TUHAN
duhai jiwaku yang berkelu
dan lidahku yang terus saja ucapkan kesah

Bahkan seorang pemenang pun dapat dilampaui (Lebih Dari Seorang Pemenang)

Alkisah di sebuah negeri -entah di mana- pada suatu waktu tertentu -entah kapan- hiduplah seorang pelari. Bukan seorang pelari gadungan, yang cuma bisa berlari untuk menghindari sesuatu -ataupun pelari yang berlari dari sebuah masalah-, tapi dia adalah seorang atlet lari. Cukup terkenal dia di negeri itu -pada masa itu juga tentunya.

Masa mudanya selalu dikelilingi kemenangan demi kemenangan di setiap akhir kompetisi lari  yang diikutinya. Bukan sebatas hanya karena kecepatan yang dimilikinya, tapi juga karena ketekunan dia berlatih sebelum dan bahkan setelah keluar sebagai seorang pemenang di suatu kompetisi yang dia ikuti.

Masa tuaanya juga tak bisa dihindari dari berbagai kemenangan sama persis seperti masa mudanya. Bukan karena batas kecepatan yang ternyata tak pernah usang dimakan usia ataupun tak pernah berhentinya dia memompa dirinya sendiri untuk terus berlatih -makin giat dan tak pernah tak giat-, tapi juga karena satu alasan penting yang masih terus dia simpan dalam benaknya.

Tibalah dia di masa penghujung karir larinya sebagai seorang lari, kecepatan larinya tak berkurang walau sudah uzur umurnya. Tapi di kompetisi kali ini, dia tak lagi keluar sebagai seorang pemenang.

Mungkin inilah saatnya bagi seorang pemenang turun tahta. Ataukah dia sudah melebihi pencapaian dari seorang pemenang. Dari seorang "Pemenang" menjadi 'Lebih Dari Seorang Pemenang'"?

"Bagaimana rasanya saat Anda mengetahui ternyata ada seorang yang melebihi Anda dalam hal kecepatan pada kompetisi  kali ini"  tanya seorang wartawan yang tak sabar mengetahui respon kekalahan yang dialami oleh si langganan juara.

"Pada masa mudaku aku adalah seorang pemenang, dalam berbagai kompetisi yang kuikuti. Pada masa tua ku pun kecepatan lariku tak berkurang layaknya masa mudaku. Aku terus melatih diriku begitu keras, berbagai gelar kuraih sebagai hadiah dari kerja kerasku dalam berlatih. Tapi aku kini tak lagi keluar sebagai seorang pemenang dalam lomba kali ini. Kini aku menjadi seorang yang 'Lebih Dari Seorang Pemenang'" jawabnya sambil menyeka kerringat yang masih mengucur dari ujung rambutnya.

"Lebih Dari Seorang Pemenang?.... Bahkan anda telah kalah dalam lomba lari kali ini" wartawan keheranan.

"Seorang 'Pemenang' meninggalkan lawan-lawannya di belakangnya dan menjadikan mereka menjadi seorang pecundang akibat kekalahan yang mereka alami. Aku berlari sedemian rupa di lomba kali ini, tanpa mengurangi sedikirpun kecepatan lariku agar tak dapat di dahului oleh seorang pecundang. Tapi aku merelakan diriku dilewati oleh seorang 'Pemenang'-yang memiliki kecepatan lebih dari yang kumiliki. Demikianlah aku mentahbiskan diriku sebagai seorang yang 'Lebih Dari Pemenang'. Karena  segala usaha berlatihku selama ini  kucurahkan agar suatu saat nanti ada orang yang dapat melampauiku. Aku tak mengizinkan seorang pecundang melampauiku dalm lomba lari, tapi seorang 'Pemenang'lah yang nantinya kuharapkan dapat melampauiku. Dan demikianlah usahaku selama ini kulakukan untuk menciptakan seorang 'Pemenang'. Seorang 'Pemenang' akan berusaha terus-menerus, memompa dirinya untuk dapat melampauiku dalam suatu perlombaan, dan jikalau dia dapat melampauiku maka dia benar akan menjadi 'Pemenang'. Dan aku yang terus berlatih keras selama ini -juga berbagai kemenangan yang kuraih dalam setiap kompetisi- hanyalah sebuah alat yang nantinya dipakai untuk menciptakan seorang 'Pemenang'. Dan itulah fungsiku selama ini. Aku  rindu akan lahirnya seorang 'Pemenang' yang dapat melampauiku. Demikianlah dia yang telah mendahuluiku pada kompetisi kali  ini. Tentulah dia begitu terpacu untuk melampauiku, dan mengusahakan dirinya untuk berlatih sedemikian keras untuk mencapai tingkat kecepatan yang cukup untuk mendahuluiku dalam kompetisi. Kini telah lahirlah seorang Pemenang, dan aku telah berhasil menciptakan seorang Pemenang. Kini aku telah 'Lebih Dari Seorang Pemenang'"

Lalu berlalulah seorang yang "Lebih Dari Seorang Pemenang" memberi selamat atas kemenangan seorang "Pemenang".


Fiksi dalam Bising Kepalaku
Catatanku yang terlihat naif di mata zaman ini

veSTer CobaiN,
Sehabis Kena Tilang Polisi di Perempatan Palmerah, Jakarta Barat

pencari keterbukaan

SATU

aku mencari keterbukaan

Ku datangi kumpulan perempuan di pinggiran jalan. Pinggiran jalan tempat yang terbuka, tempat di mana setiap wanita ini mencari nafkah, menjajakan dirinya,... di pinggiran jalan,... dalam keterbukaan bagian paha kakinya yang mulus. Kudekati salah satu dari sekian wanita berjajar itu.

"Hai mas..!" wanita itu menyapa,  senyum manis wanita yang sedang dia pertontonkannya kurasa bukan menjadi andalan jitunya.

"Hai juga" jawabku kecut

"Bisa saya bantu mas" wanita ini agak mempermainkan kakinya, bergoyang-goyang lincah, seakan-akan kilap paha putihnya menjadi andalannya.

"aku mencari keterbukaan" langsung to the point aku ajukan keinginanku tersebut.

Entah bagaimana, dan apa alasan si wanita tersebut dia genggam tanganku, menarikku. Aku pasrah saja ikut. Dari tempat terbuka, pinggiran jalan, kini si wanita menggiringku ke dalam sebuah kamar, tempat tertutup. Bajunya yang sudah minimalis, hendak dia lepaskan. Aku bingung.

"Mengapa hendak kau buka bajumu?" tanyaku keheranan

"Kan mas sendiri yang bilang mencari keterbukaan" jawabnya, yang membuat dia berhenti saat hendak mengendurkan resleting di bagian belang bajunya.

"Jadi inikah keterbukaanmu?"

"Inilah keterbukaan yang ku punya, mas"

Sekejap aku melangkah pergi dari kamar itu, menghindari tempat tertutup itu. Tinggalkan si wanita sendiri bersama dengan ketertutupan baju minimalis  yang hampir saja dia buka di hadapanku. Keterbukaan yang ada di pinggiran jalan, menuju ketertutupan ruangan sebuah kamar, dan keterbukaan baju yang menutupi tubuhnya. Demikian batas keterbukaan yang kutemukan.

Keterbukaan yang berbatasan dengan yang tertutup


DUA

aku mencari keterbukaan

Aku datangi keberadaan gunung berapi. Kokoh berdiri... tegak... hampir sentuh langit... tiap makhluk ada di bawah kakinya.

Keberadaan gunung berapi, amat tinggi puncaknya tapi tetap saja aku mendakinya. Belum sampai juga, walau sudah kudaki berkilo-kilo keringat tubuhku, kuhentikan langkahku.

"GUNUNG...!!!!!!" teriakku

"...gu..gu...nu...nu...ng...ng..." suaraku terdengar kembali ke telingaku, dimentahkan oleh si gunung berapi.

"aku mencari keterbukaan, dapatkah kau tunjukkan padaku?"

Gunung berapi berguncang, makhluk yang ada di kakinya berlarian. Aku salah satu dari sekian macam-macam makhluk yang berhamburan lari.

Gunung meletus. mengeluarkan abu api vulkanik, gas beracun, lahar panas, dan segala material yang dapat mengancam eksistensi makhluk hidup.

Keterbukaan yang mengancam eksistensi, itulah keterbukaan dari tegaknya gunung berapi. Tegak berdiri, terlihat kokoh, berada di puncak langit. Namun keterbukaan yang dimilikinya mengancam eksistensi yang berada disekelilingnya.

Keterbukaan yang mengancam eksistensi.

To be Continue...

Anakku terlantar

aNakku,...
ayah pergi dahulu,
sepulangnya ku nanti
kulihat tambah umurmu dua tahun

cepat waktu berlalu
selepas tembus pintu
rumahku berlalu

saat kembali
semua terlihat baru
dan kutanyakan pada istri
siapa anak di depan ini?

engkaulah itu, anakku
tambah sudah lima umurmu
saat tibaku kembali pulang
Search Engine Optimization