header photo

Celoteh jemput pagi

Dari tempat tertinggi,
segala sesuatu yang dapat mengalir berarak turun mendekat

Dari tempat yang lebih rendah,
segala sesuatu yang dapat mendaki berusaha beranjak memanjat

Demikian mereka yang nyaman di tempat tertinggi zona hidupnya,
tak dapat mengelak untuk memberi tangan pada yang di bawahnya.

Sedang mereka yang gundah dalam peraduan terendahnya,
beruSaha rubah asa menggapai pengharapan yang ada dalam diri

Di mana dan seperti apa keberadaanmu,
jadilah berkat seperti yang telah dirancang-Nya

Lagi pula, siapa yang dapat menghindari-Nya?

BENDERA

Dengan keceriannya sepulang dari kunjungan ke Taman Makam Pahlawan, sang anak menunjukkan buah tangan yang di tangan mungilnya. Sedang sang ayah sedang mengikat bendera pada tali tiang bendera, berniat menerbitkan bendera di atas tiang bendera di pekarangan rumahnya.

Ini bukanlah cerita tentang seorang anak dan ayahnya yang nasionalis, anti komunis, dan tak bernyawa liberalis. Tidak!

Ini tidaklah tentang ada atau tidaknya jiwa nasionalis pada diri mereka, atau tidak adanya paham liberal pada sisi pemberontakan seorang anak kecil --yang bahkan tak dia tau apa yang hendak disuarakannya dalam nilai berontaknya itu--, atau bagaimana tentang umumnya seorang ayah yang mengagungkan kesejahteraan sosial dalam kisah sosialis sejurus dengan komunis.


"Ayah lihatlah apa yang kubawa"

"Ya, ayah melihat apa yang kamu bawa, anakku" Sang ayah masih mencoba menguatkan simpul ikat bendera yang dibuatnya. Bendera yang hanya terbuat dari kain semata.

"Aku membawa bendera dari taman makam pahlawan. Kurasa bendera yang kupunya ini lebih hebat dari bendera yang ada di tangan ayah" Sang anak membanggakan replika bendera yang terbuat dari triplek, buah tangan pengalaman pertama kunjungan dari Taman Makam Pahlawan.

Ayah yang telah berhasil membuat simpul pada tali tiang bendera, lalu melanjutkannya mengerek bendera yang terbuat hanya dari kain. Sang anak mengadah ke atas, mengikuti laju bendera yang terkerek menuju ujung tertinggi dari tiang bendera. Tak berbicara lagi kini keduanya. Tak ada suara, tapi bukan juga karena mereka sedang apel layaknya apel PNS (yang katanya adalah seorang nasionalis pengabdi, abdi negara), atau upacara kibar bendera di sekolah (tempat mendidik paham nasionalisme). Sesampainya bendera --yang hanya terbuat dari kain-- di ujung tertinggi, kedua manusia ini mengakhiri keikutsertaan pandangan mereka pada tiang bendera.

Melambai-lambai dengan begitu lincahnya bendera di ujung tertinggi tiang kala itu

Bukankah bendera sudah sampai di atas sana, apa lagi yang dapat menghentikan keeratan dua manusia satu darah itu untuk saling bercengkrama layaknya seorang ayah dan anak? Dan bukan layaknya seorang nasionalis.

"Lebih hebat katamu, anakku?" Sang ayah mencoba memulai kembali pembicaraan yang sempat terhenti tadi.

"Iya ayah. Coba perhatikan betapa bendera yang kupunya begitu kokoh, terpaan angin tak sanggup menggoyangkannya. Karena memang bendera yang kupunya terbuat dari kayu. Lebih kokoh kulihat. Dan juga, warna yang melekat pada benderaku tak akan luntur sebagaimana yang biasa terjadi pada bendera yang hanya terbuat dari kain semata" celoteh sang anak.

"Hmmm... benar adanya yang kau bilang anakku. Bendera yang kau punya takakan bisa melambai-lambai sewaktu diterpa angin. Juga tak bisa luntur, karena warna yang menghiasinya begitu menyerap di antara serat-serat kayu benderamu itu"

"Kalau ayah pun setuju dengan yang ku katakan, lalu kenapa tidak dari sekarang mari kita gunakan bendera yang kupunya ini kita gunakan sebagai ganti bendera kain ayah itu? Lihatlah, warna yang mulai pudar yang ada padanya. Dan mengapa pula bendera kain yang ayah punya hanya melambai-lambai saja, padahal baru saja angin yang menghampiri keberadaannya. Melambai-lambai, seakan sedang mengajak orang untuk mendekat, dan mengagumi tarian dari hasil terpaan angin yang meniup keberadaannya."

"Namun anakku, apalah arti ketidakmelambaian yang dipunya bendera kaku-mu itu? Dia tak dapat melambai, sehingga benderamu itu tak bisa menari dalam terpaan angin. Dan akankah orang mendekat dan memperhatikan keberadaan bendera seandainya saja tak dapat dia melambai-lambai kepada orang?" Sang ayah memperhatikan lambaian bendera kain yang berada di ujung tertinggi di tiangnya itu.

"Juga mengenai betapa kaku bendera yang kau miliki, tak bergeming saat angin menghampiri. Perlukah lagi suatu ketidakbergerakan yang dimilikinya, kekakuan benderamu itu, bisa menjadi panutan karena tak sanggup benderamu itu menyesuaikan keadaan yang sedang terjadi di sekitarnya"

"Maksud ayah?"

"Saat angin datang menerpanya, entah itu angin sepoi ataupun deras angin, dia tetap saja tak bergerak. Sama seperti tak bergeraknya benderamu saat tak ada angin sekalipun juga. Jadi bagaimana orang-orang dapat melihat bahwa di sekitar bendera sedang terjadi peristiwa-peristiwa yang sedang mengancam keberadaan si bendera"

"Justu itulah yang kumaksud, ayah. Bendera yang kupunya sanggup tegak berdiri setegak-tegaknya, saat apapun yang sedang menerpanya"

"Anakku,. Bendera yang kupunya, yang terbuat dari kain, mampu mengajak orang untuk tahu bahwa apa yang sedang terjadi disekitarnya. Bahwa saat bendera melambai artinya sedang ada sesuatu yang terjadi di sekitarnya, bahwa ada angin yang menerpanya. Saat angin begitu derasnya menerpa, dia akan segera begitu lincahnya melambai-lambai kepada orang banyak, dan orang banyak akan segera mawas tentang keadaan benderanya. Sedang jika angin sedang menerpa dengai sepoi semata, dia akan memberitahu dengan lambaian kecil, sekadar memberitahu ancaman kecil yang sedang diterimanya dari angin."

"Apakah baiknya jika dia memberi tahu kesemuanya itu kepada semua orang, ayah?"

"Bagi mereka yang menghormati bendera, maka orang itu akan mendekat dan segera menerima pertanda yang sedang diberikan oleh benderanya itu" sang ayah memandang tiang bendera, lalu hormatnya teruntuk bendera di ujung tertinggi.

Melambai-lambai dengan begitu lincahnya bendera di ujung tertinggi tiang kala itu.

Sang ayah menerima pertanda dari benderanya. Bendera yang terbuat hanya dari kain itu.


Karna jikalau bendera adalah tonggak pertama dari suatu eksistensi suatu bangsa, mampukah dia memberitahu bahwa angin sedang menerpa dengan sedemian rupa?

Benderakah dia, jikalau hanya berdiri setegak-tegaknya di atas ujung tertinggi tiangnya?

SEBATAS HIDUP SEBATAS

SANG BERMULA, cikal bakal mula awal,
SANG AKHIR, kesudahan berketidaksudahan

Dan dalam garis awal-kesudahan, di mana aku ada dalam ketersusunannya
yang nantinya terlupa dalam tiada rupa,
yang teringat dalam imajinasi singkat sekilas sengat mengingat,

kini bernyawa alas jumawa jiwa,
berpenghirup zarah nafas merah merekah singgah,

kelam damai termakan lunglai,
tenang ilalang menghilang senang

Pun aku bernah bermula,
Pun aku sedia ukir akhir

SANG AKHIR sepanjang berketidaksudahan,
SANG BERMULA berketetapan mula awal

Di hadapan SANG AKHIR
--tiada lain juga SANG BERMULA--
aku sebatas hidup sebatas



~ -...aku...- ~









March 13, 2011

Catatan pengendara motor berplat B (monolog pengendara lesu)

Perjalanan pulang kerja sangat menyiksaku. Macetnya jalan raya seakan-akan tak pernah berempati akan keletihanku. Sepanjang jalan, tersedia titik kemacetan. Ups... aku ralat dikit:-->  Sepanjang jalan, tersedia titik-titik kemacetan.

"Sial. Titik memang kecil, tapi dampak dari sebuah titik tak sesederhana  titik itu sendiri. Bukankah dampak dari titik itu adalah menjadi akhir dari suatu kalimat? " demikian awal monologku di hari ini di atas sepeda motor ber-plat B.

"Titik kemacetan memang cuma beberapa panjang meter jauhnya. Tapi lihatlah berapa banyak kendaraan berlomba untuk mencari kesempatan untuk lolos dari titik kemacetan. Dan dampak dari titik (kemacetan) menghasilkan garis panjang antrian kendaraan, baik pengemudi yang mau mengantri, juga demikian yang tidak mau tahu tak ingin mengantri dan menyerobot sesukanya selagi ada celah untuk menyalib. Dan, here we go... i still stuck in the midle of traffic"

Sudah konstan jarum speedometerku bertahan angka 10 km di sana selama 30 menit perjalananku setelah keluar dari parkiran motor kantorku. Itu artinya sudah setengah jam (aku prediksikan) aku baru menempuh jarak 5 km jauhnya dari kantor. Sedang untuk mencapai rumah perlu sekitar 25 km lagi.

"Ah janganlah dulu kepintaran berhitungku muncul di saat yang tidak tepat" 

Bagaimana tidak? Bukankah lebih baik aku tak hapal mati tentang rumus dari kecepatan? Yang bahwasanya v=s/t. Kecepatan adalah pembagian waktu oleh si jarak. Pun demikian: s= v*t. Jarak adalah perkalian kecepatan dengan waktu. Dan jikalau kecepatanku selama 30 menit terakhir cuma 10 km/jam, maka jarak yang kutempuh adalah 5 km saja!!!

"Ah seandainya saja aku sakit parah saat pelajaran Fisika di SMA dulu, tentulah aku punya alasan untuk meliburkan diri. Tentulah aku tak diajarkan tentang rumus kecepatan, tentulah 10 tahun kemudian aku tidak akan bisa menghitung sudah seberapa jauh jarak yang kutempuh saat melewati jalanan macet. Perhitungan yang hanya mengandalkan jarum speedometer motor dan jam di HP Nokia ku. Dan akhirnya, kudapati diriku bertambah lesu dengan mengetahui berapa jauh jarak yang harus kutempuh untuk mencapai rumah." Setelah monolog ini, alam sadarku, tanpa semauku, menghitung  interval taksiran waktu  berapa lama lagi aku akan sampai ke rumah. Gerombolan arwah kelesuan seketika merasukiku.

Ternyata kejeniusan yang tidak pada tempatnya adalah kemalangan bagiku. Kelesuan bagiku.

Lesu.

Titik kemacetan pertama telah terlewati. Dan seperti awal monologku, akhirnya dampak dari titik menghasilkan akhir dari monolog singkatku. Tak ingin aku bermonolog. Tiada guna.


Sial. Titik memang kecil, tapi dampak dari sebuah titik tak sesederhana  titik itu sendiri. Bukankah dampak dari titik itu adalah menjadi akhir dari suatu kalimat? "

March 10, 2011

Ujung-ujung hari penghujung

Ujung tutup penghujung

cahaya mata telah redup,
bayang-bayang pudar menutup

dingin melebur gelap,
alam sadar terlelap

rindu bulan,
bulan syahdu,
syahdu kamu

nun jauh...,
jauh tempuh...,
Nun 'kan ku tempuh

Harap satu mimpi indah.



Ujung mula terujung

dari ujung timur kulihat matahari meragu,
lambat langkahnya menguasai har

idi pinggiran jalan reranting seadanya saja menari,
kicau-kicau burung tak bersemangat menaklukkan gemuruh knalpot pencari nafkah.

Tak terpengaruh dengan siasat alam,
dengan semangat haru kutantang hari ini,
tebarkan gelora,
manis senyum,
hangat sapa,
teruntuk teman nun jauh berada

Selamat Pagi.

March 8, 2011

Hari ini TUHAN tejebak di dompetku

Tanggal Dua puluh Lima, di suatu bulan tertentu, pada tahun tertentu dari hidup si penulis.

"It's a beatuiful day.." aku mencoba mengikuti alunan musik dari mp3-ku. Lagu U2 memang sudah menjadi andalanku saat bepergian dengan mengendarai sepeda motor ber-plat B ku, dan lagu "beautiful day" milik U2 yang paling bisa menemani andrenalinku saat berkendara dengan kecepatan tinggi. Dari balik helm yang kukenakan, tepatnya tersumbat di lubang telingaku ada headphone dari mp3 yang baru saja kubeli sebulan yang lalu dari gajiku.

Hari ini kata 'gaji' jelas merupakan tujuan utamaku melangkahkan diriku ke kantor dengan riangnya. Apa yang membuat kata gaji ini begitu membangkitkan semangat? Ini harinya aku menjadi kaya. Ini harinya gajian...!!!

Walau ada perasaan kecut dari dalam hati yang masih saja tak sanggup kuhilangkan dari bulan lalu. Sebulan lau, aku baru mengerti suatu istilah dalam kamus perekonomianku. Istilah ini adalah "gaji 8,2". Dan Memang benar gajiku benar-benar DELAPAN KOMA DUA. Jam Delapan gaji cair, jam Dua mukaku murung. Jam Delapan pagi dompetku tebal, jam dua sudah entah kemana sebagian besar itu isi dompet.

Hidup teramat mudah untuk tidak disambut dengan muka murung. Tiada uang, tiada senyum. Akulah itu di bulan lalu. ..........

---TIBA-TIBA HP-ku BERbUnyi. Aku harus MengAKHiri tuliSAN ku Ini. Maaf bagi yaNG sempAT Membaca nOTe ini. Aku SUDahkAN duLU Sampai disiNi. Monster sedaNG Datang ke BUmi. Aku harus kembaLi bERtuGAS, MENyelAMAtKan Bumi dARI ANcAMAN mONSTER---

to be continue...

belum saatnya untuk titik.


Ayo kawan, jangan akhiri dengan titik
ini baru saja pertengahan kalimat,
jangan enggan lanjutkan celoteh merdumu

seperti keceriaan anak kecil --teramat kecil--
yang baru saja terjerembab dan henti langkah kaki mainnya
dan lalu tertawa,
seperti sesuatu yang lucu dalam otak lugunya,
rok warna-warni miliknya--sedikit robek-- tercoreng noda tak urungkan niatnya,
dan dia tertawa,
lalu kembali bermain

ayo kawan, jangan sampai kehabisan inisiatif jari-jemarimu
lukiskan tentang perasaan dalam kata,
sedang olah pikirmu mencari kelanjutan dari tanda petik
atas setiap buah pikirmu yang hendak kau rangkum,
dalam kertas kaca komputermu,
dan lanjutkanlah

Ayo kawan, jangan akhiri dengan titik
ini baru saja pertengahan kalimat,
jangan enggan lanjutkan celoteh merdumu

kutunggu kau dari depan ini


Jabat hangat teruntukmu dan skipSWEET-mu,
Sonny Sitorus




February 25, 2011

Berkat TUHAN mari hitunglah

Jika topan k'ras melanda hidupmu
jika putus asa dan letih lesu
berkat Tuhan satu-satu hitunglah
kau niscaya kagum oleh kasihNYA
ref:
Berkat TUHAN mari hitunglah,
kau 'kan kagum oleh kasihNYA
Berkat TUHAN, mari Hitunglah,
kau niscaya kagum oleh kasihNYA

Sebuah lagu yang menjadi pengantar keterbatasan daya hitungku. Mengapa? Mengapa terbatas?

Aku masih saja sibuk bertanya dengan jiwaku yang satu-satunya ini. "Hey jiwaku jangan gundah. Gundahmu mengganggu kinerja tubuhku"

"Jikalau aku gundah, biarlah demikian. Karena aku jiwa, dan aku menilai segala kejadian yang kau alami. Dan inilah penilaianku terhadap kejadian yang menimpa kau saat ini, atau sebut saja 'menimpa kita berdua'. Dan inilah aku, jiwa, dan begitulah jadinya kau karena aku" sanggah jiwaku padaku.

Benar juga yang dikatakan jiwaku. Bukankah jiwa dapat gundah, jiwa juga dapat bahagia, jiwa juga dapat gentar? Kesemuanya itu, bahkan lebih lagi, terjadi seringkali karena kejadian yang lalu-lalang terjadi dalam keseharianku.

Sementara jam dinding terus saja sibuk sendiri. Memutar jarum-jarum yang dimilikinya. Jarum detik, jarum menit, dan jarum jam. Sementara kalender yang menempel di dinding tetap saja beraneka angka, berwarna hitam, dan juga merah.

Sungguh aku sedang kurang kerjaan, bisa jadi karena kurang perhatian, ataupun bisa jadi karena kurang memperhatikan. Harus kuakui aku kurang memperhatikan jarum detik, jarum menit, jarum jam pada jam dinding yang kupunya. Mengapa jarum-jarum itu berputar? Mengapa jarum-jarum itu menunjuk kepada setiap angka yang melekat pada jam dinding? Dan juga sama halnya dengan kalender, walau sering melihat, tapi aku kurang memberikan waktu baginya, walau sejenak. Mengapa begitu banyak angka, mengapa ada warna merah, mengapa ada warna hitam di tiap hari yang berbeda?

Berapa banyak kejadian yang telah kualami semasa hidupku, dan aku masih hidup. Dan apa lagi yang akan kualami nanti sepanjang aku masih hidup, entah kapan aku berhenti hidup. Tiap kejadian selalu ada penanda waktu di setiap terjadinya kejadian itu. Ada kejadian haru-biru, senang-menguning, menggembirakan-merah muda, kegagalan-memerah.
Dan tiap satuan waktu tersebut, adakah aku ingat letaknya kejadian tersebut satu-persatu dalam tatanan penanda waktu? Dimana jarum detik, menit, jam saat satu kejadian itu terjadi? adakah aku mengingatnya? atau adakah aku perlu mengingatnya?
Pada angka berapa di kalender, satu kejadian itu berlaku dalam hidupku? pada angka merahkah? atau pada angka hitamkah?

Dan otakku mencoba mengambil alih kesadaranku. Otakku membawaku kepada flash back  perkataan seorang teman di waktu yang telah lama dulu.
---------------------
"Dan taukah kau Son? Tuhan hanya membutuhkan seperseratus detik --bahkan lebih-- untuk membuat suatu mukjizat terjadi dalam hidup kita"  Sari, teman guru sekolah minggu, berkata kepadaku dalam tayangan flash back tersebut.
---------------------
Seketika, aku kembali ke kesadaranku seutuhnya. Menjadi diriku, menjadi tubuhku, menjadi otakku, menjadi jiwaku.
"Dan jikalau TUHAN hanya membutuhkan waktu seperseratus detik --bahkan lebih-- untuk membuat suatu mukjizat terjadi dalam hidupku, berarti seberapa banyak seharusnya mukjizat itu terjadi dalam hidupku?''
"Berapa banyak mukjizat menghiasi tiap putaran jarum-jarum jam dindingku?"
"Berapa banyak mukjizat mampu TUHAN sediakan dalam hidupku di setiap angka --baik angka merah maupun hitam-- dalam kalender dindingku?"
Dan terlebih dari kesemua itu "Bukankah satuan putaran jarum-jarum jam dindingku ataupun angka merah-hitam di kalender dindingku menandakan betapa terbatasnya daya hitungku untuk mengkalkulasi semua kesempatan mukjizat dapat terjadi oleh TUHANku?"
"Adakah aku memberikan kesempatan TUHAN untuk menyajikan mukjizat itu terjadi dalam hidupku? atau jangan-jangan kekurangpercayaanku yang membutakan mataku untuk melihat begitu banyak mukjizat telah terjadi dalam hidupku selama ini?"
"Oh jam dinding, oh kalender dinding... . Keberadaan kalian sungguh membesarkan nama TUHAN-ku, dan betapa terbatasnya 'analisis keberartian berkat dibalik setiap kejadian' yang kumiliki"

Kini aku berkomunikasi lagi dengan jiwaku. "Jiwaku..., jikalau engkau sanggup, hitunglah setiap berkat sebanyak perputaran jarum-jarum jam dinding yang masih terus saja berputar. Jikalau kau sanggup, duhai jiwaku, nantikan kapan kalender mulai tak diproduksi lagi dimuka bumi. Kar'na pada saat produksi kalender lenyap dari muka bumi, itulah saat berkat TUHAN menemukan ketidakterbatasan waktu dan ruang. Karena siapa pula yang bisa menghentikan berkat TUHAN tercurah? Tidak juga waktu, lebih dari itu, bahkan melewati masa berlakunya produksi kalender dimuka bumi ini... berkat TUHAN selalu ada"

"Dan taukah kau Son? Tuhan hanya membutuhkan seperseratus detik --bahkan lebih-- untuk membuat suatu mukjizat terjadi dalam hidup kita"  Sari, temanku, berkata kepadaku dalam tayangan flash back tersebut



February 14, 2011
Search Engine Optimization