header photo

G.O.N.E,


Akhirnya dia menghilang, setelah sepekan aku berfikir dia akan ada selamanya di sini. Di sisiku.

"Bahkan dia tak sempat ucapkan salam pisah bagiku, atau setidaknya tinggalkan surat teruntukku",gumamku saat aku masuki kamarnya. Memang akulah seorang manusia yang dipercayainya untuk memegang kunci serep kamar kost-nya. Dan dari sinilah aku bermula menyadari kebenaran dari berita miring tentang hilangnya dia dari peredaran Jakarta. Tapi sungguh aku tak mengharapkan aku benar-benar menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri tentang hilangnya dia. Dan dengan kamar kosong yang seperti ini..., tak terbantahkan lagi bahwa benar adanya dia telah hilang.

"Aku hanya berfikir untuk menghilang dari Jakarta. Sungguh aku tak bisa menaklukkan kota ini, meraih anganku yang semula, tentang kesempurnaan masa depan yang dapat kucapai di kota ini"  Flash back dari percakapan terakhir yang kami lakukan tercipta begitu jelas dalam dimensi ruang nyata kamar ini.

khayal


aku keluar dari batas diriku sendiri. Dan seketika melewati batas diriku sendiri, tak ku mencari dia yang telah ku kenal sejak lama. Ya, dia bernama PENGECUT. Karna kutahu ke mana ujung pencarianku andai aku mencari PENGECUT. Aku takkan menemukannya, karna sudah barang tentau dia mengumpat, bersembunyi dan seorang diri. Tak ada yang tahu, bahkan bumi pun tak tahu keberadaannya.

aku langkahkan kaki kiriku saat melewati batas diriku sendiri. Dan KENEKATAN menghardikku. "Aih...aih... hanya satu langkah? mengapa berat kutatap langkahmu itu? KENEKATAN mencibirku begitu saja, dan berlalu. Apa dikata, hendak kusanggah cibirannya itu kepadaku tapi dia seenaknya saja berlalu menerobos batasan waktu dan menghilang seperti mati, terjun dari lantai enam sebuah gedung di salah satu gedung menumpuk di jalan Rasuna Said, Jakarta (sarang kemacetan).

aku langkahkan kaki kananku, tapi langkah kaki kanan tak mendahului kaki kiri, berdiri sejajar dengan yang kiri. Lalu dari balik aku mendengar sebuah suara, aku tak yakin... tapi dari suara yang cukup familiar itu aku yakin suara itu adalah punya KEADILAN. "Setiap langkah yang kau buat dalam kesejajaran, tak berarti dirimu berarti dalam keberbedaan yang tak sejajar dengan analogi hukum sebab akibat yang dapat diterima setiap orang. Dapatkah kau tegakkan kepalamu karenanya?" Mendengar celoteh yang seperti itu, adalah ciri khas dari KEADILAN yang lantas menguap bagai asap dan tak bersisa jejak kehidupannya,... dan karena alasan demikian aku tak menoleh kebelakan untuk memastikan keberadaan KEADILAN yang berada seratus delapan puluh derajat dari batas diriku ini.

Tentang Natal dan kerumitannya


Tumitku sungguh lemah, tak kuasa lagi menapak tanah yang mana sebelumnya talah terjejak jejak tanah dari langkah kakiku sendiri. Seperti hal yang sudah-sudah terulang lagi, bagai lingkaran yang kembali menepukan poros awal dimulainya garis melengkung tak berujung itu. Sungguhkah perlu kesemuanya ini dilakukan? Maksudku adalah Natal dengan segala kerumitannya. Kerumitan yang berpola dan telah ada sebelumnya. Tidakkah ada sebuah kelegaan yang singgah dalam cerita Desember ini? Yang bukan seperti cerita yang berulang-ulang dari yang telah berkesudahan sebelumnya. Yang telah terjalani.


Natal sungguh membuatku seperti...
seperti pohon natal yang terpajang.
Kaku dan hanya berkedip-kedip lampu kecil yang ada padanya. Keindahan yang sesungguhnya tak indah, karena ternyata bukan pohon natal itu sendiri yang beri keindahan bagi dirinya sendiri. Tapi ornamen-ornamen yang melekat padanyalah yang memberi keindahan. Seperti lampu-lampu yang menempel padanya jadi pusatnya.

Sesungguhnya, baik bila aku menjadi kandang domba. Hina sehina-hinanya, bau-sebau-baunya, jorok-sejorok-joroknya.

Dengan harapan, Sang Bayi Yesus sudi lahir dalam kandang yang seperti kuharapkan. Harap-seharap-harapnya.

Natal senatal-natalnya.

ALIBI


mulut mengatup-katup
sang pemikir mulai beroperasi
lidah mengasah tajam
kening mengerucut

mengejar pemuasan kosakata
berlaku adil bagi pribadinya sendiri
celaka akhirat menjelma damai surga
ketidakbersalahan adalah tujuan utama
walau tertuduh adalah saksi baginya sendiri

tidakkah kejujuran terlalu murah untuk digadaikan dengan yang demikian
demi kepalsuan

juga akhirnya kita mati karena lidah habis terpotong bukan?

Mata dalam gelap

Ah mataku, apa yg hendak kau pandangi kala malam begini? Padahal semua insan telah tersembunyi dalam pembaringannya. Tidak juga hatinya, juga jiwa tiap-tiap insan mati seketika dalam lelap. 


Hendakkah perkara yang demikian jadi misteri bagimu untuk disaksikan, ah mataku? Padahal unt yang demikian, tak akan sanggup penglihatan menakar keterlelapan jiwa -pun pabila bisa kau, mataku, melihatnya.
Search Engine Optimization