Sebuah percakapan dengan seorang teman yang baru saja berakhir beberapa menit tadi. Mungkin juga adalah sebuah pemikiran yang lahir dalam sanubari yang tak terlihat, dalam bingkai potret makna yang kuambil dari lensa fokus seorang aku. Aku yang adalah pemuda, juga seorang yang baru. Baru jadi orang -maybe-.
Bahwa seorang pemuda hadir dalam semangat pembaharuan. Itu aku amini. Atau jangan-jangan memang yang demikian cuma aku?
Bahwa seorang pemuda lebih menyukai berbicara, dan sebuah jurus yang dinamakan "mendengar" bukanlah jurus yang menjadi andalan. Begitulah jadinya aku yang lebih dikenal dengan mulut yang jarang mengatup, juga aku yang masih muda (semuda-mudanya pemuda).
Bahwa seorang pemuda dalam kemudaannya, tak berikat pinggang ketat. Lebih memilih satu ukuran celana yang lebih besar satu nomor ukuran pinggangnya. Karena dengan demikian tak terimpit derap langkahnya yang terdesak oleh impitan. Gerak yang demikian sering teridentifikasi sebagai pemberontakan bukan? Setidaknya berontak dari celana yang menyempit. Seperti celanaku yang berkerut -cemberut.
Bahwa kesabaran adalah jalannya pengalaman, bagi yang tak lagi pemuda. Jadi haruskah pemuda bersabar? Bisa jadi bukan waktu muda kata "sabar" bisa dijabarkan dalam formula aljabar yang tepat bagi pemuda. Atau hanya bagiku, yang di masa tua akan kukatakan pada seorang muda: "Bersabarlah hey kau pemuda...!"
Bahwa bukan hanya pemuda, juga bukan hanya seorang tua (atau lebih dari itu, bukan jua seorang bayi yang baru saja diutus lahir ke dunia dan bermula dari sebuah rumah sakit seadanya) yang tak tahu kapan akan datangnya hari penghakiman. Di mana setiap ornamen kehidupan yang pernah hidup akan diminta pertanggung-jawaban akan apa yang pernah di tingkahlakukannya. Maka berfaedahlah hidup bagi seorang yang tua untuk bergerak lebih lambat karena pengaruh umur yang memberatkan langkah kaki juga beratnya pertimbangan, atau juga berfaedahnya hidup seorang bayi yang belum saja dapat berjalan karena hidup yang baru dimulainya hanyalah hidup yang bergantung... kepada orang yang mau tak mau harus bayi ini menggantungkan pengharapan hidupnya. Jadi Pemuda tak berat kaki, tak berat pertimbangan, juga tak bergantung, maka demikian pemuda adalah beratnya pertanggungan jawab di masa penghakiman nanti. Yang pasti datang kelak pada waktunya, waktu terakhir, waktu penghakiman. Jadi dengan langkah kaki ringanku, ringan pemikiranku, dan tak ingin bergantung... aku sempat terpikirkan untuk meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum untuk membelaku jikalau masa penghakiman itu datang. Semoga ada jenis Lembaga Bantuan Hukum yang demikian.
Dan ternyata di akhir semuanya, ternyata aku bingung tentang kata "pemuda" itu sendiri. Tapi aku mengadah ke bulan yang ada di atas langit. Dan ku rasa bulan di malam ini seperti bentuk kepalaku dan agak mirip mukaku. Aku lah pemuda, di atas langit seperti bulan. Pernah bayi, dan semoga nanti sempat tua. Semoga.
28 Oktober 2011 |
Sebuah catatan saku seorang pemuda, aku.