Jika topan k'ras melanda hidupmu
jika putus asa dan letih lesu
berkat Tuhan satu-satu hitunglah
kau niscaya kagum oleh kasihNYA
ref:
Berkat TUHAN mari hitunglah,
kau 'kan kagum oleh kasihNYA
Berkat TUHAN, mari Hitunglah,
kau niscaya kagum oleh kasihNYA
Sebuah lagu yang menjadi pengantar keterbatasan daya hitungku. Mengapa? Mengapa terbatas?
Aku  masih saja sibuk bertanya dengan jiwaku yang satu-satunya ini. "Hey  jiwaku jangan gundah. Gundahmu mengganggu kinerja tubuhku"
"Jikalau  aku gundah, biarlah demikian. Karena aku jiwa, dan aku menilai segala  kejadian yang kau alami. Dan inilah penilaianku terhadap kejadian yang  menimpa kau saat ini, atau sebut saja 'menimpa kita berdua'. Dan inilah  aku, jiwa, dan begitulah jadinya kau karena aku" sanggah jiwaku padaku.
Benar  juga yang dikatakan jiwaku. Bukankah jiwa dapat gundah, jiwa juga dapat  bahagia, jiwa juga dapat gentar? Kesemuanya itu, bahkan lebih lagi,  terjadi seringkali karena kejadian yang lalu-lalang terjadi dalam  keseharianku.
Sementara jam dinding terus saja sibuk  sendiri. Memutar jarum-jarum yang dimilikinya. Jarum detik, jarum menit,  dan jarum jam. Sementara kalender yang menempel di dinding tetap saja  beraneka angka, berwarna hitam, dan juga merah.
Sungguh  aku sedang kurang kerjaan, bisa jadi karena kurang perhatian, ataupun  bisa jadi karena kurang memperhatikan. Harus kuakui aku kurang  memperhatikan jarum detik, jarum menit, jarum jam pada jam dinding yang  kupunya. Mengapa jarum-jarum itu berputar? Mengapa jarum-jarum itu  menunjuk kepada setiap angka yang melekat pada jam dinding? Dan juga  sama halnya dengan kalender, walau sering melihat, tapi aku kurang  memberikan waktu baginya, walau sejenak. Mengapa begitu banyak angka,  mengapa ada warna merah, mengapa ada warna hitam di tiap hari yang  berbeda?
Berapa banyak kejadian yang telah kualami  semasa hidupku, dan aku masih hidup. Dan apa lagi yang akan kualami  nanti sepanjang aku masih hidup, entah kapan aku berhenti hidup. Tiap  kejadian selalu ada penanda waktu di setiap terjadinya kejadian itu. Ada  kejadian haru-biru, senang-menguning, menggembirakan-merah muda,  kegagalan-memerah.
Dan tiap satuan waktu tersebut, adakah aku  ingat letaknya kejadian tersebut satu-persatu dalam tatanan penanda  waktu? Dimana jarum detik, menit, jam saat satu kejadian itu terjadi?  adakah aku mengingatnya? atau adakah aku perlu mengingatnya?
Pada angka berapa di kalender, satu kejadian itu berlaku dalam hidupku? pada angka merahkah? atau pada angka hitamkah?
Dan otakku mencoba mengambil alih kesadaranku. Otakku membawaku kepada flash back  perkataan seorang teman di waktu yang telah lama dulu.
---------------------
"Dan  taukah kau Son? Tuhan hanya membutuhkan seperseratus detik --bahkan  lebih-- untuk membuat suatu mukjizat terjadi dalam hidup kita"  Sari, teman guru sekolah minggu, berkata kepadaku dalam tayangan flash back tersebut. ---------------------
Seketika, aku kembali ke kesadaranku seutuhnya. Menjadi diriku, menjadi tubuhku, menjadi otakku, menjadi jiwaku.
"Dan  jikalau TUHAN hanya membutuhkan waktu seperseratus detik --bahkan  lebih-- untuk membuat suatu mukjizat terjadi dalam hidupku, berarti  seberapa banyak seharusnya mukjizat itu terjadi dalam hidupku?''
"Berapa banyak mukjizat menghiasi tiap putaran jarum-jarum jam dindingku?"
"Berapa  banyak mukjizat mampu TUHAN sediakan dalam hidupku di setiap angka  --baik angka merah maupun hitam-- dalam kalender dindingku?"
Dan  terlebih dari kesemua itu "Bukankah satuan putaran jarum-jarum jam  dindingku ataupun angka merah-hitam di kalender dindingku menandakan  betapa terbatasnya daya hitungku untuk mengkalkulasi semua kesempatan  mukjizat dapat terjadi oleh TUHANku?"
"Adakah aku memberikan  kesempatan TUHAN untuk menyajikan mukjizat itu terjadi dalam hidupku?  atau jangan-jangan kekurangpercayaanku yang membutakan mataku untuk  melihat begitu banyak mukjizat telah terjadi dalam hidupku selama ini?"
"Oh  jam dinding, oh kalender dinding... . Keberadaan kalian sungguh  membesarkan nama TUHAN-ku, dan betapa terbatasnya 'analisis  keberartian berkat dibalik setiap kejadian' yang kumiliki"
Kini  aku berkomunikasi lagi dengan jiwaku. "Jiwaku..., jikalau engkau  sanggup, hitunglah setiap berkat sebanyak perputaran jarum-jarum jam  dinding yang masih terus saja berputar. Jikalau kau sanggup, duhai  jiwaku, nantikan kapan kalender mulai tak diproduksi lagi dimuka bumi.  Kar'na pada saat produksi kalender lenyap dari muka bumi, itulah saat  berkat TUHAN menemukan ketidakterbatasan waktu dan ruang. Karena siapa  pula yang bisa menghentikan berkat TUHAN tercurah? Tidak juga waktu,  lebih dari itu, bahkan melewati masa berlakunya produksi kalender dimuka  bumi ini... berkat TUHAN selalu ada"
"Dan  taukah kau Son? Tuhan hanya membutuhkan seperseratus detik --bahkan  lebih-- untuk membuat suatu mukjizat terjadi dalam hidup kita"  Sari,  temanku, berkata kepadaku dalam tayangan flash back tersebut
February 14, 2011