Aku tak tahu kapan ini bermula. Bisa jadi aku membenci keberadaan
dirinya. Bisa jadi juga tidak. Tapi
dia bukanlah kejahatan, tapi bukan serta merta menjadikan
dia sebagai pembenaran dari pelarian diri dari eksistensianku sendiri. Sebagai diriku sendiri, demikian
dia juga menanggapi segala kejadian yang terjadi dalam keseharianku.
Oh iya, aku ingat,
dia mulai ada saat aku tak mampu menahan gejolak pemberontakan dalam batinku, batin yang tersiksa. Dia ada dalam penghayatanku akan semua lirik pemberontakan yang dinyanyikan Kurt Cobain saat dia memimpin band-nya, Nirvana, bernyanyi di Unplugged in New York, atau bisa saja lirik ini adalah lirik kemerdekaan jiwa yang tertindas. Sungguh, saat kali pertama mendengar suara Kurt Cobain, betapa gejolak dalam diri ini jebol begitu saja. Setiap suara parau yang dia lantunkan, memunculkan keberadaan
yang lain dalam diriku. Dan dikemudian hari aku menamakan
yang lain ini sebagai Vester Cobain.
Seperti yang kunyatakan tadi. Vester Cobain bukanlah keberadaan yang kubenci, terkadang aku sungguh mengharapkan
dia menguasai eksistensiku, dan membiarkan
dia menjalani hari-hariku sebagai pemberontak. Bukan pemberontak yang siap menghantam apapun yang ada di sekitar, mengkritik setiap gejala yang menyimpang, ataupun menyapu setiap parasit dalam kehidupanku. Tapi keberadaan
dia sesungguhnya adalah penolong bagi jiwaku sendiri yang terkekang oleh sopan-santun palsu yang tak bisa kulepas. Ya,
dia adalah kebaikan dari kejahatan dalam diri ini. Kebaikan lantaran ketidakberanianku menyampaikan setiap pemikiran yang tersembunyi dalam hati yang terdalam.
Dia adalah kebebasan jiwa berekspresiku.
Dia adalah aku sendiri.
Dia adalah pembela ku, walau terkadang mungkin ada baiknya aku terkekang dalam kepalsuan santunku, dia adalah jiwa,
dia adalah aku. Ya, Vester Cobain tidak lain adalah aku sendiri..
Dan inilah aku, sebagai diriku sendiri, hidup bersama Vester Cobain, jiwa pemberontakku dan penolongku.
to be continue...