header photo

Sorry...,

The Author of this Blog is being error. He is not able to continue what he had started before.

We apologize for this inconvenience

Aku dan yang lain aku (part 1)

Aku tak tahu kapan ini bermula. Bisa jadi aku membenci keberadaan dirinya. Bisa jadi juga tidak. Tapi dia bukanlah kejahatan, tapi bukan serta merta menjadikan dia sebagai pembenaran dari pelarian diri dari eksistensianku sendiri. Sebagai diriku sendiri, demikian dia juga menanggapi segala kejadian yang terjadi dalam keseharianku.

Oh iya, aku ingat, dia mulai ada saat aku tak mampu menahan gejolak pemberontakan dalam batinku, batin yang tersiksa. Dia ada dalam penghayatanku akan semua lirik pemberontakan yang dinyanyikan Kurt Cobain saat dia memimpin band-nya, Nirvana, bernyanyi di Unplugged in New York, atau bisa saja lirik ini adalah lirik kemerdekaan jiwa yang tertindas. Sungguh, saat kali pertama mendengar suara Kurt Cobain, betapa gejolak dalam diri ini jebol begitu saja. Setiap suara parau yang dia lantunkan, memunculkan keberadaan yang lain dalam diriku. Dan dikemudian hari aku menamakan yang lain ini sebagai Vester Cobain.

Seperti yang kunyatakan tadi. Vester Cobain bukanlah keberadaan yang kubenci, terkadang aku sungguh mengharapkan dia menguasai eksistensiku, dan membiarkan dia menjalani hari-hariku sebagai pemberontak. Bukan pemberontak yang siap menghantam apapun yang ada di sekitar, mengkritik setiap gejala yang menyimpang, ataupun menyapu setiap parasit dalam kehidupanku. Tapi keberadaan dia sesungguhnya adalah penolong bagi jiwaku sendiri yang terkekang oleh sopan-santun palsu yang tak bisa kulepas. Ya, dia adalah kebaikan dari kejahatan dalam diri ini. Kebaikan lantaran ketidakberanianku menyampaikan setiap pemikiran yang tersembunyi dalam hati yang terdalam. Dia adalah kebebasan jiwa berekspresiku. Dia adalah aku sendiri. Dia adalah pembela ku, walau terkadang mungkin ada baiknya aku terkekang dalam kepalsuan santunku, dia adalah jiwa, dia adalah aku. Ya, Vester Cobain tidak lain adalah aku sendiri..



Dan inilah aku, sebagai diriku sendiri, hidup bersama Vester Cobain, jiwa pemberontakku dan penolongku.


--- End for part1

to be continue...

Tunggulah sampai di akhirat kita bercerita kembali

 Kawan ku datang dengan memikul sekarung cerita. Dia mengeluarkan bongkahan isi karung tersebut, satu persatu. Sungguh mencengangkan apa yang keluar dari karung yang dipunya oleh kawan ku tersebut.

Seorang kawan, yang pada masa remaja kami berdua sering menceritakan tentang hal-hal yang jauh di depan, tentang masa depan. Tentang apa yang akan kami, secara pribadi, akan kami raih..., apa yang hendak kami hindari... dan tentang kekekalan apa yang nantinya kelak melekat pada sejarah hidup kami.

Memang masa remaja kami telah jauh tertinggal di belakang. Tapi tiap-tiap kami tetap memegang benang merah yang mengikat kami tetap terhubung kepada masa kini dan yang nantinya, masa depan. Dan dari benang itu jugalah yang mempertemukan kami kembali.

Dari kesekian kalinya, secara perlahan dikeluarkannya isi kantung yang dia pikul tadi.. Hal pertama yang dia keluarkan adalah bongkahan kesuksesannya di dunia pekerjaannya.. Sekelumit cerita sebagai penghantar bagaimana dia mendapatkan bongkahan kesuksesannya di dunia kerja. Tentang bagaimana sekarang penghasilan yang dia terima (dan ini membuatku menelan ludah ku sendiri sekejap dalam rongga mulut yang tersembunyi). Tentang bagaimana di tempat kerjanya, suara yang dari mulutnya bagai suatu firman yang harus dijalankan oleh rekan-rekan kerjanya. "Ah,.. Benar-benar bongkahan yang ajaib" pikirku dalam hati.

Search Engine Optimization