header photo

Tunggulah sampai di akhirat kita bercerita kembali

 Kawan ku datang dengan memikul sekarung cerita. Dia mengeluarkan bongkahan isi karung tersebut, satu persatu. Sungguh mencengangkan apa yang keluar dari karung yang dipunya oleh kawan ku tersebut.

Seorang kawan, yang pada masa remaja kami berdua sering menceritakan tentang hal-hal yang jauh di depan, tentang masa depan. Tentang apa yang akan kami, secara pribadi, akan kami raih..., apa yang hendak kami hindari... dan tentang kekekalan apa yang nantinya kelak melekat pada sejarah hidup kami.

Memang masa remaja kami telah jauh tertinggal di belakang. Tapi tiap-tiap kami tetap memegang benang merah yang mengikat kami tetap terhubung kepada masa kini dan yang nantinya, masa depan. Dan dari benang itu jugalah yang mempertemukan kami kembali.

Dari kesekian kalinya, secara perlahan dikeluarkannya isi kantung yang dia pikul tadi.. Hal pertama yang dia keluarkan adalah bongkahan kesuksesannya di dunia pekerjaannya.. Sekelumit cerita sebagai penghantar bagaimana dia mendapatkan bongkahan kesuksesannya di dunia kerja. Tentang bagaimana sekarang penghasilan yang dia terima (dan ini membuatku menelan ludah ku sendiri sekejap dalam rongga mulut yang tersembunyi). Tentang bagaimana di tempat kerjanya, suara yang dari mulutnya bagai suatu firman yang harus dijalankan oleh rekan-rekan kerjanya. "Ah,.. Benar-benar bongkahan yang ajaib" pikirku dalam hati.



Bongkahan kedua yang dia keluarkan tidak lain dan tidak juga bukan.. Sebuah foto wanita... Aduh-aduh.. Hampir-hampir menetes liurku. Sebuah kaligrafi sempurna yang berwujud sosok wanita ideal. Di masa aku dan kawanku dalam jaman yang sudah purba, kami sering berkelakar tentang ketidakmungkinan dari masing-masing kami mendapatkan wanita yang luar biasa ideal cantiknya. Tapi kini, foto yang kawan ku keluarkan dari karungnya, adalah persis suatu ketidakmungkinan yang dulunya kami berfikir demikian.

"Kamu berbohongkan?" aku tidak serta merta percaya tentang validitas dari foto tesebut.

"Seorang pria mulai bergerak dari apa yang menurutnya tidak mungkin kawan. Dan aku putar balikkan ketidakmungkinan tersebut. Kini aku mendapatkan wanita yang terpampang di layar foto ini" Kawanku sedikit membusungkan dadanya dan dagunya kuperhatikan semakin meninggi.

Aku agak membungkukan aku punya punggung, sebagai isyarat aku percaya apa yang dibanggakannya itu.

Bongkah ketiga agak sulit dia keluarkan. "Maukah kamu membantuku" pintanya

Nampaknya memang dia kesulitan. Aku hampiri dia, aku masukkan juga tanganku ke dalam karung miliknya tersebut. Dengan sedikit paksaan dan kerjasama kami berdua, bongkahan itu akhirnya keluar juga dari karung.

Sebuah kitab suci....

Aku pingsan seketika.

Selepas aku tersadar, kusadari aku tengah berbaring tepat beralaskan pasir pantai. Tempat kami bertatap muka 3 jam yang lalu. Aku pun menyadari telah 3 jam aku terbuai dalam pingsanku saat aku melihat langit di atasku sudah memasuki senja.

Aku sempat lupa ingatan tentang apa yang membuatku pingsan karenanya, sebelum aku menyadari bahwa dalam aku berbaring ternyata tanganku memegang erat kitab suci yang adalah penyebab pingsanku.

"Responmu sangat mengejutkanku" heran kawanku tehadap pingsanku 3 jam yang lalu

"Bagaimana bisa, dan apa asal muasal tiba-tiba kamu pingsan?" tanya kawanku

"Ah, masakan ini saatku bercerita?" Aku balik bertanya

"Padahal ini adalah benda dari karungmu. Jadi tentulah ada cerita dibalik benda ini. Lanjutlah bercerita kawan" aku berkilah

Satu paragraf..dua paragraf.. Berbab-bab, hingga tepat sudah setengah matahari tenggelam di ujung laut senja sana, sedemikian panjangnyalah uraian kawanku tentang kitab suci yang menjadi bongkahan ketiga dari karung yang dia punya tersebut. Dan tibalah dia di ujung uraiannya tersebut.

"Bagiku, kitab suci adalah keseimbangan hidup. Kamu harus seimbangkan sisi kelam realita hidup (juga tindak tanduk kotor) yang jadi rutinitas kita dengan tetap memiliki kitab suci. Inilah yang membuat dua sisi lenkap.. Hitam adalah realitas kita, dan putih sebagai lukisan yang menempel ketat dinding rumah kita" tutup cerita kawanku.

Aku kembali melepas pandanganku ke ujung laut, dan menyaksikan bagaimana matahari sepenuhnya tenggelam ke dalamnya, tepat saat akhir dari uraian panjang kawanku itu.

Malam pun tiba. Suasana di pantai menjadi remang-remang di antara kami. Dua lelaki di pesisir pantai, sebagai sahabat lama, sahabat semenjak masa remaja. Kami kini di masa sekarang ini, bertemu, sampai di remang malam pantai.

"Apa ceritamu?" tanya kawanku itu.

"Tidak ada" jawabku

"Masakan tiada cerita" kawan ku heran

"Aku serius dengan ucapanku" aku coba meyakinkan

"Apa pendapatmu?" Tanya kawanku

"Tentang?" Aku berbalas perang tanya pada kawanku

"Tentang isi karung yang kutunjukkan padamu"

"Haruskah aku menilai?" Lagi aku membalas dengan pertanyaan

"Ya, karna kamu adalah kawanku"

Aku berdiri, dan mengadah ke langit.

"Bintang?" Tanya kawan ku keheranan menuju direksi dari apa yang kupandangi

"Tidak" aku menelan ludahku sendiri dalam rongga mulut tersembunyi.

"Inilah penilaianku" aku siap menguraikan

"Kawan ku, bagiku dari apa yang kamu ceritakan padaku, kamu laksana matahari dan perilakunya. Yang pada bongkahan pertamamu, engkau bagai matahari terbit di ujung timur. Membawa sinaran harapan bagi mereka-mereka yang menjadi bawahanmu. Apa yang keluar dari mulutmu adalah yang mereka nanti-nantikan."

"Dan bongkahan kedua mu tentang foto wanita cantik yang telah menjadi hakmu, bagai matahari di siang hari, menyilaukan mata bagi semua yang memandang."

"Dan tentang keberadaan kitab suci yang menyeimbangkan dua sisi hitam dan putihnya dirimu, bagai matahari terbenam di ujung pantai, setengah tenggelam, setengah masih nampak di ujung laut sana. Tapi toh.. Pada akhirnya, matahari pun akan tenggelam di ujung laut pada akhirnya. Dan berakhirlah" aku beranalogi

Kawanku naik pitam, dia bangkit, di dorongnya aku. Aku terjatuh, dan bergegas bangun. Kawanku melempar kepalan tangannya mengarah ke wajah ku. Aku berhasil mengelak sembari tidak menahan laju kaki ku yang terangkat menuju cepat ke mukanya.

Kawan ku terjatuh.

Kawanku menangis.

Aku ikut menangis karenanya.

"Mungkin ada benarnya, pertemuan ini terlalu cepat datangnya bagi kita berdua" kataku berlutut mendekatinya

Setelah itu kami pun melepaskan diri satu sama lain, dan menjauhkan diri satu sama lain, dalam hal ini tersimulkanlah sebuah simpul frasa 'satu sama lain' . Satu ke arah yang satu, yang satu lagi ke arah yang ke dua, tidak sejalan.

Masing-masing kami tau kapan nantinya kami bertemu. Tapi sebelum kami berpisah, saat aku menghampiri tubuh kawanku yang terkapar kena sepakan kaki ku, aku berbisik padanya:

"Ceritaku adalah cerita pasir yang terhampar di pantai, dan hanya terinjak-injak di pesisir...sesekali ternbawa ombak, masuk ke laut, terbawa kembali ke pantai juga karena ombak. Dan kembali terinjak setibanya lagi di pantai. Aku sekarang adalah aku masa remajaku dan bising kepalaku, kamu sekarang adalah kamu dalam masa remajamu dan buah pikirmu. Masing-masing masih dalam realisasi tentang apa yang kita bicarakan di masa remaja yang sewaktu dulu kita sebut sebagai 'masa depan'"

Itulah kami, bersahabat semenjak masa remaja, berpisah kembali di masa kini. Kawanku yang bejalan ke arah yang berlawanan dengan arahku tidak membawa serta karungnya, tapi di tangannya dia menggenggam pasir pantai. Entah untuk apa, hanya dia yang tahu beserta arah perjalan yang diambilnya. Sedang di tangangku aku membawa karung kawan ku beserta tiga bongkahan di dalamnya. Entah untuk apa, antara tahu yang remang-remang atau penyangkalan diri yang nantinya.



~~Kawanku semoga kita bercerita di dunia kekekalan nantinya~~

Rangkum Senja 2010 dalam memori

0 komentar:

Search Engine Optimization