header photo

G.O.N.E,


Akhirnya dia menghilang, setelah sepekan aku berfikir dia akan ada selamanya di sini. Di sisiku.

"Bahkan dia tak sempat ucapkan salam pisah bagiku, atau setidaknya tinggalkan surat teruntukku",gumamku saat aku masuki kamarnya. Memang akulah seorang manusia yang dipercayainya untuk memegang kunci serep kamar kost-nya. Dan dari sinilah aku bermula menyadari kebenaran dari berita miring tentang hilangnya dia dari peredaran Jakarta. Tapi sungguh aku tak mengharapkan aku benar-benar menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri tentang hilangnya dia. Dan dengan kamar kosong yang seperti ini..., tak terbantahkan lagi bahwa benar adanya dia telah hilang.

"Aku hanya berfikir untuk menghilang dari Jakarta. Sungguh aku tak bisa menaklukkan kota ini, meraih anganku yang semula, tentang kesempurnaan masa depan yang dapat kucapai di kota ini"  Flash back dari percakapan terakhir yang kami lakukan tercipta begitu jelas dalam dimensi ruang nyata kamar ini.

khayal


aku keluar dari batas diriku sendiri. Dan seketika melewati batas diriku sendiri, tak ku mencari dia yang telah ku kenal sejak lama. Ya, dia bernama PENGECUT. Karna kutahu ke mana ujung pencarianku andai aku mencari PENGECUT. Aku takkan menemukannya, karna sudah barang tentau dia mengumpat, bersembunyi dan seorang diri. Tak ada yang tahu, bahkan bumi pun tak tahu keberadaannya.

aku langkahkan kaki kiriku saat melewati batas diriku sendiri. Dan KENEKATAN menghardikku. "Aih...aih... hanya satu langkah? mengapa berat kutatap langkahmu itu? KENEKATAN mencibirku begitu saja, dan berlalu. Apa dikata, hendak kusanggah cibirannya itu kepadaku tapi dia seenaknya saja berlalu menerobos batasan waktu dan menghilang seperti mati, terjun dari lantai enam sebuah gedung di salah satu gedung menumpuk di jalan Rasuna Said, Jakarta (sarang kemacetan).

aku langkahkan kaki kananku, tapi langkah kaki kanan tak mendahului kaki kiri, berdiri sejajar dengan yang kiri. Lalu dari balik aku mendengar sebuah suara, aku tak yakin... tapi dari suara yang cukup familiar itu aku yakin suara itu adalah punya KEADILAN. "Setiap langkah yang kau buat dalam kesejajaran, tak berarti dirimu berarti dalam keberbedaan yang tak sejajar dengan analogi hukum sebab akibat yang dapat diterima setiap orang. Dapatkah kau tegakkan kepalamu karenanya?" Mendengar celoteh yang seperti itu, adalah ciri khas dari KEADILAN yang lantas menguap bagai asap dan tak bersisa jejak kehidupannya,... dan karena alasan demikian aku tak menoleh kebelakan untuk memastikan keberadaan KEADILAN yang berada seratus delapan puluh derajat dari batas diriku ini.

Tentang Natal dan kerumitannya


Tumitku sungguh lemah, tak kuasa lagi menapak tanah yang mana sebelumnya talah terjejak jejak tanah dari langkah kakiku sendiri. Seperti hal yang sudah-sudah terulang lagi, bagai lingkaran yang kembali menepukan poros awal dimulainya garis melengkung tak berujung itu. Sungguhkah perlu kesemuanya ini dilakukan? Maksudku adalah Natal dengan segala kerumitannya. Kerumitan yang berpola dan telah ada sebelumnya. Tidakkah ada sebuah kelegaan yang singgah dalam cerita Desember ini? Yang bukan seperti cerita yang berulang-ulang dari yang telah berkesudahan sebelumnya. Yang telah terjalani.


Natal sungguh membuatku seperti...
seperti pohon natal yang terpajang.
Kaku dan hanya berkedip-kedip lampu kecil yang ada padanya. Keindahan yang sesungguhnya tak indah, karena ternyata bukan pohon natal itu sendiri yang beri keindahan bagi dirinya sendiri. Tapi ornamen-ornamen yang melekat padanyalah yang memberi keindahan. Seperti lampu-lampu yang menempel padanya jadi pusatnya.

Sesungguhnya, baik bila aku menjadi kandang domba. Hina sehina-hinanya, bau-sebau-baunya, jorok-sejorok-joroknya.

Dengan harapan, Sang Bayi Yesus sudi lahir dalam kandang yang seperti kuharapkan. Harap-seharap-harapnya.

Natal senatal-natalnya.

ALIBI


mulut mengatup-katup
sang pemikir mulai beroperasi
lidah mengasah tajam
kening mengerucut

mengejar pemuasan kosakata
berlaku adil bagi pribadinya sendiri
celaka akhirat menjelma damai surga
ketidakbersalahan adalah tujuan utama
walau tertuduh adalah saksi baginya sendiri

tidakkah kejujuran terlalu murah untuk digadaikan dengan yang demikian
demi kepalsuan

juga akhirnya kita mati karena lidah habis terpotong bukan?

Mata dalam gelap

Ah mataku, apa yg hendak kau pandangi kala malam begini? Padahal semua insan telah tersembunyi dalam pembaringannya. Tidak juga hatinya, juga jiwa tiap-tiap insan mati seketika dalam lelap. 


Hendakkah perkara yang demikian jadi misteri bagimu untuk disaksikan, ah mataku? Padahal unt yang demikian, tak akan sanggup penglihatan menakar keterlelapan jiwa -pun pabila bisa kau, mataku, melihatnya.

yang nantinya dan yang sekarang

Kemarilah bersamaku, kita akan membelokkan garis tangan kita berdua. Garis tangan yang hampir tak terlihat lagi di masing-masing telapak kita, 'kan kita buat sejelas helai bulu mata kita. Lentik dan hitam.

 Berartinya sehelai bulu mata, menjaga rapuhnya kornea, juga percantik keindahan pandangan mata yang memandang.

 Demikian akan kita buat, garis tangan pada telapak mata kita.

 Jangan berhenti

dan mereka (atau jangan-jangan cuma aku) disebut Pemuda

Sebuah percakapan dengan seorang teman yang baru saja berakhir beberapa menit tadi. Mungkin juga adalah sebuah pemikiran yang lahir dalam sanubari yang tak terlihat, dalam bingkai potret makna yang kuambil dari lensa fokus seorang aku. Aku yang adalah pemuda, juga seorang yang baru. Baru jadi orang -maybe-. 

Bahwa seorang pemuda hadir dalam semangat pembaharuan. Itu aku amini. Atau jangan-jangan memang yang demikian cuma aku? 

Bahwa seorang pemuda lebih menyukai berbicara, dan sebuah jurus yang dinamakan "mendengar" bukanlah jurus yang menjadi andalan. Begitulah jadinya aku yang lebih dikenal dengan mulut yang jarang mengatup, juga aku yang masih muda (semuda-mudanya pemuda). 

Bahwa seorang pemuda dalam kemudaannya, tak berikat pinggang ketat. Lebih memilih satu ukuran celana yang lebih besar satu nomor ukuran pinggangnya. Karena dengan demikian tak terimpit derap langkahnya yang terdesak oleh impitan. Gerak yang demikian sering teridentifikasi sebagai pemberontakan bukan? Setidaknya berontak dari celana yang menyempit. Seperti celanaku yang berkerut -cemberut. 

Bahwa kesabaran adalah jalannya pengalaman, bagi yang tak lagi pemuda. Jadi haruskah pemuda bersabar? Bisa jadi bukan waktu muda kata "sabar" bisa dijabarkan dalam formula aljabar yang tepat bagi pemuda. Atau hanya bagiku, yang di masa tua akan kukatakan pada seorang muda: "Bersabarlah hey kau pemuda...!" 

Bahwa bukan hanya pemuda, juga bukan hanya seorang tua (atau lebih dari itu, bukan jua seorang bayi yang baru saja diutus lahir ke dunia dan bermula dari sebuah rumah sakit seadanya) yang tak tahu kapan akan datangnya hari penghakiman. Di mana setiap ornamen kehidupan yang pernah hidup akan diminta pertanggung-jawaban akan apa yang pernah di tingkahlakukannya. Maka berfaedahlah hidup bagi seorang yang tua untuk bergerak lebih lambat karena pengaruh umur yang memberatkan langkah kaki juga beratnya pertimbangan, atau juga berfaedahnya hidup seorang bayi yang belum saja dapat berjalan karena hidup yang baru dimulainya hanyalah hidup yang bergantung... kepada orang yang mau tak mau harus bayi ini menggantungkan pengharapan hidupnya. Jadi Pemuda tak berat kaki, tak berat pertimbangan, juga tak bergantung, maka demikian pemuda adalah beratnya pertanggungan jawab di masa penghakiman nanti. Yang pasti datang kelak pada waktunya, waktu terakhir, waktu penghakiman. Jadi dengan langkah kaki ringanku, ringan pemikiranku, dan tak ingin bergantung... aku sempat terpikirkan untuk meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum untuk membelaku jikalau masa penghakiman itu datang. Semoga ada jenis Lembaga Bantuan Hukum yang demikian. 

Dan ternyata di akhir semuanya, ternyata aku bingung tentang kata "pemuda" itu sendiri. Tapi aku mengadah ke bulan yang ada di atas langit. Dan ku rasa bulan di malam ini seperti bentuk kepalaku dan agak mirip mukaku. Aku lah pemuda, di atas langit seperti bulan. Pernah bayi, dan semoga nanti sempat tua. Semoga.

28 Oktober 2011
 Sebuah catatan saku seorang pemuda, aku.

tentang-tentang

Tentang dia yang mungkin bukan manusia utuh. Tentang dia dan ukurannya. Setengah bukan gambaran penuh tentangnya, mungkin kurang dari itu, tapi bukan sepertiga juga seperempat. Entahlah, mungkin dia bukanlah tentang sesuatu ukuran, juga bukan untuk dinilai. Tentang dia dan nilai.

Tentang dia yang penah jalani masa lalu. Tentang dia yang masa sekarang, juga tentang dia yang nanti di masa menjelang. Tentang dia yang tak menjalani waktu, atau terserak berarak usaha mengejar waktu. Namun bukan tentang dia yang berada terikat dalam waktu. Tentang dia yang sebenarnya membuat waktu berjalan. Adakah karena ketidakhadiran dia waktu akan terekam dalam hidupnya? Maka tentang dia adalah tentang keterbebasan dari usaha si penjajah yang kita kenal dengan sebutan waktu. Tentang waktu yang gagal mendiktator hidup dari dia.

Tentang dia yang berperinsip. Tentang ketatnya aturan hidup yang dia jalankan sepenuh hati. Namun juga tentang dia yang tak selamanya membiarkan logikanya mengatur ketatnya arus hidupnya. Tentang fleksibilitas, dan juga tentang kompromi. Membiarkan dirinya sesekali mengingkari dirinya sendiri. Tentang mengalah, tentang perjuangan yang diusahakannya demi sejalan dengan prinsip hidupnya. Namun di saat ujung, tentang bagaimana usaha menegakkan prinsipnya menemui jalan buntu, maka tentang itu dia mengalah. Tentang arti mengalah yang dapat membiaskan arti dari semangat juang, tentang yang demikian dia menyesah. Tentang mengalah, tentang kebesaran hati dia menganggap. Tentang Tuhan, Sang Pengadil Absolut, yang akan mengambil alih yang karenanya (tentang) mengalah akhirnya dia perbuat juga.


tentang-tentang yang demikian... tentang.

lagi dan lagi


lagi..., kita dipermainkan oleh keramaian
jengah jalani kebisingan, dan lagi
kita mempermainkan kesepian
sunyi namun mengisi sesak telinga

lagi,... ketakutan membungkus kita
sebuah lepasan nafas pun berat terjadi, dan lagi
kita terbungkus keberanian
diterkam tangung jawab membenamkan kita


...lagi, hasrat besar tak berpihak pada kita
padam entah kemana gelora juang itu, dan lagi
kita berpihak pada kebenaran
sendiri taklukkan keluh pribadi sendiri

sedang kepala terus menegak, dan lagi
bukankah tempat untuk letakkan kepala tak tersedia?
tegang menuju ujung, urat nadi disekujur kulit menampak
membungkus ketegangan yang tersembunyi namun terlihat

dan lagi
ini terjadi lagi

dan lagi
kita harus berani...!!!




September 23, 2011

realisasi harapan



berhentilah jika memang arah tiada,
tapi jangan selamanya

ragulah jika memang tiada kepastian,
tapi jangan tak berpendirian

jangan menyerah,
walau hasil akhir demikian mengarah 

pelangi terasa indah selepas hujan,
bintangpun berkedip menarik perhatian malam,
alam pun selalu sajikan pandangan demikian
keindahan yang ngajak kita berharap

berharap, dan realisasikan,
berbuat, dan saksikan...
tiada yang sia-sia,

karena malam tidak untuk selamanya,
juga pelangi tak selalu ada,
alam pun semakin mendekati wafatnya
jangan hanya sebatas memiliki harapan

berharap, dan realisasikan,
berbuat, dan saksikan...
tiada yang sia-sia

September 11, 2011

Perpaduan kita dalam malam

Kepekatan malam hadirkan gelapnya hitam yang tutupi segalanya. Tidak hanya cahaya, pun waktu yang berjalan mampu untuk ditutupinya. Demikianlah gambaran malam itu, saat kau mulai berbicara, saat ku mulai mendengar.

Dan dalam apa yang kudengar, menjadikanku menua. Dan dari apa yg kau ceritakan, aku pernah berada di sana sebelum kau tiba di sana -dan kemudian kau cerita padaku tentang itu-.

Tak ingin ku angkuh, namun bagai kepada kekasih, pun aku mulai menasehati. Adanya aku, karna ku pernah alami yang nantinya kau alami. Dan berharap kau lebih teguh menghadapi kesemuanya, tak serapuh dahulu kala ku menghadapi kesemuanya.

Dan saat cerita kita telah usai, saat tak ada lagi yg bercerita ataupun saat tak ada lagi yg mendengar. Langit tersingkap, malam memudar. Pagi sedikit demi sedikit mulai memonopoli waktu. Dan kita tertidur, dalam mimpi yang sama.

September 4, 2011

tak ikuti pilihan hati

maafkan aku hati,
hati yang telah memilih pada yang satu,

hati dapat memilih,
pun itu bukanlah yang pasti

realita fana adalah angin yang menghanyutkan
dan ku terbawa bersamanya

maafkan aku hati,
hati yang telah memilih pada yang satu

aku tikam hati,
demi sesuatu yang pasti

hanyutku bersama angin
tibakanku pada pelabuhan penyangkalan hati

realita fana

August 25, 2011

Beralih ke kehidupan

Terlahir berdebu juga kemudian mati berdebu,
seakan tak berfaedah peristiwa lahir dan mati.

--sebuah suara terdengar dr balik kamar bersalin--
--rintih demi rintih berirama teratur berdistorsi gema--
--hela menghela nafas, berlomba, seakan bolong sudah atmosfir selimut bumi--

--sepasang suami istri tak sepasang, tak beriring--
--yg sebelah berharap cemas di garis luar kamar bersalin,--
--yg sebelah beradu mujur di garis mati,di garis hidup--

--bumi bertambah satu suara, tangis kali pertama--
--dari garis mati dari garis hidup, timbullah mungil bentuk kehidupan--

--oh pesona kehidupan, berawal dr balik kamar bersalin--

betapa memori kelahiran menuai banyak keheranan,
bagi mereka yg buta dan slalu memandang kematian

adakah kelahiran berfaedah?
Pun perkara mati, tak jua unt perbandingan.

Maka hiduplah selalu

August 24, 2011

anak jalan pesisir jalan

hendak ke manakah kamu, duhai tangis anak yang keluar dari rahim sang ibu pesisir jalan?
karna sang ibu adalah sisa-sisa jalanan, hampir-hampir serupa bentuk jalanan
sang ibu kasar kulitnya, dengan pori-pori sebesar jalan bolong serupa bentuk jalanan

jikalau nanti anak dapat langkahkan kaki dan sanggup berlari, apa yang hendak kamu kejar nak?
karna pesisir jalan, pelesir bermobil gagah mengebulkan racun asap keserakahan melaju cepat
tegap pun kakimu berlari, tak dapat sejajar lajumu mengimbangi yang demikian

mungilnya lidah si anak mencoba belajar berbicara, hendak mengucap kata apa anak ini kelak?
"kesejajaran dan kepedulian" begitu nyaring kau dengar, tapi tak berwujud
"kasih ibu sepanjang jalan" adalah benar adanya bagi anak dan sang ibu pesisir jalan

terpal cukup untuk tenangkan hujan, apa dapat tenang isi perut si anak?
karna sekali kau berteriak lapar, maka tersingkaplah perut yang sejak lahir semakin bengkak tak berisi
hendakkah disamakan keadaan perut yang begini dengan larangan menyantuni anak jalanan?

semoga Tuhan masih ada dihati kita semua,
semoga si anak itu adalah Tuhan, yang nyata terlihat di pesisir jalan
dan disembah dengan tak berkekurangan sesajen yang mewangi haru,
bukan hanya diprihatinkan hanya dengan kata dan lafal doa
  August 14, 2011

Nyanyian mati, nyanyian hidup

Adalah seorang yang telah mati....

Sekelompok orang -di hadapan jasad- bernyanyi....
"Berbahagialah dia yang telah mati"

--------------------------------------***-----------------------------------------

Adalah sebuah tempat dunia orang mati

Sekelompok arwah sambil menangis -bahkan terisak isak- bernyanyi...
"Celakalah dia yang masih saja hidup"

--------------------------------------***-----------------------------------------

Yang mereka kira adalah hidup,
ternyata berujung mati

Yang mereka kira adalah mati
pun ternyata kunjung hidup

--------------------------------------***-----------------------------------------

Di antara dunia yang berbeda, dalam satu emosi yang sama
sama-sama bernyanyi:
"Semua terjadi, biarlah terjadi...
terbaik yang sekarang, adalah terbaik seterusnya,
pun mati, pun hidup,
pun jelas masing-masing juntrungannya"

Dalam satu emosi yang sama, di antara dunia yang berbeda
sama-sama bernyanyi:
"Yang jangan terjadi, semoga tak dialami...
tak baik melanglang dunia hidup sembari mati
pun tak jelas melangkah di dunia mati saat masih saja hidup
Cukup satu, cukuplah mati... atau cukuplah hidup"

August 1, 2011

Bersama

Bila ada yang kuketahui tak kau ketahui. Maka marilah dalam duduk kita bersama, yang satu mendengar, yang lain berbicara. Pun kemudian, yang lain berbicara untuk kali pertama, dan yang satu menjadi yang kali pertama mendengar.


Bila ada yang tak ku ketahui kau ketahui. Maka marilah kita berjalan seperti biasa. Seperti layaknya seorang anak kecil kepada yang kecil lainnya. Antusias cerita terlepas begitu saja tanpa ada ragu yang menutupi, tanpa meragukan apa yang tertutupi. Bagai seorang anak kecil kepada yang kecil lainnya.


Seperti yang sama-sama sudah saling kita ketahui. Maka itu kita masih saja tetap bersama.


Jabat hangat,

yang satu, dan yang kecil lainnya

July 27, 2011

Cerita Malam

Tentang sebulan lamanya -dalam malam-malam terakhir hidupku- ku pandangi gitar itu. Tak lengkap lagi senarnya. 

Aku teringat betapa untuk menyaingi gerombolan suara anak-anak sekolah minggu jejemariku begitu dahsyatnya menghujani senar-senar yang ada padanya. Demikian putuslah senar pertama, si nada tertinggi dari pada si gitar. 

Malam ini kucoba lagi berteman dengan dia. Kumainkan sebuah lagu, juga lagu-lagu yang selanjutnya. Tentang bagaimana lagu-lagu yang kunyanyikan itu aku tak peduli. Sama tak pedulinya dengan sumbang nada dari gitar dengan senar tak lengkap itu. 

Gitar membawaku ke belakang, kepada masa-masa yang dahulu. Tapi aku berontak ... . "Mengapa nada yang melantun hampir-hampir membuatku terlempar dari kenyataan akan saat ini? Tak usahlah sebuah lagu menerbangkanku kembali ke masa-masa yang telah lalu. Cukuplah yang lalu itu terpajang pada-senar-senar gitar yang tak lengkap ini" cakapku sendiri pada diri sendiri - karena kutahu hanya seorang gila yang mampu mengajak bicara gitar yang adalah benda mati juga tak berlidah

Demikian kini aku mengerti, mengapa gitar dengan senar tak lengkap ini urung kumainkan sebulan lamanya. 

Dan gitar pun kembali terpajang saja di tempat yang sama, sama seperti sebelum kumainkan malam ini, sama seperti sebulan yang lalu.

July 27, 2011

teRlUPA

Senandung angin pagi ini begitu merdu. Sambut menyambut menghampiri lembut kulit tubuhku yang masih saja bermalas-malas. Entah malas karena apa.

Senandung angin pagi ini ramah sekali. Pelahan demi perlahan dari atas tubuhku menyusur ke bawah, berlomba mereka senggol hitam kulitku. Entah mengapa bisa menghitam kulitku

Burung berkicau, langit pagi pun memudar biru
Dewa-dewa kematian bergerilya, pasukan terang terhisap pada bulan

Satu kali mati, lalu lenyap sudah
satu kali hidup, permulaan pun mulai awal-mula

Senandung perih, tentang kulit hitam,
tapi terlupa keriput mendesak

Senandung sesal, tentang malas,
terhenyak sesal penyesalan kemudian

Burung berkicau, lalu semua lupa,
langit mendekat, biru pudar, lalu tak diingat-ingat sekali-kali

Dewa-dewa kematian, bergerilya tikam satu, lalu kedalam lebih dalam
pasukan terang terhisap tak bercahaya, bulan terang menghitam malam

dan angin bawa kicau-kicau merdu burung yang terlupa,
dan angin pada kulit hitam ramah senggol kulit hitam kelam

yang terlupa

perangai malam

kami berpesta, rayakan malam
bulan ada di tempatnya, manjakan diri betamasya gelap

kami bersuka, malam lagi datang
bintang tak terhalang, kedap-kedip rayakan eksistensinya

kami bermanja, lebih-lebih karna malam
dingin berkunjung dalam siulannya, hangat bukan segalanya bukan?

kami senang, kami pun bergirang
menarilah bayang pohon,
betapa ketakutan akan gelap bagai peletup simfoni, dendang malam
iring-iringan rindu semampai
sudut kotak mimpi mulai merekah...
jelang

June 21, 2011

bagaimana bila berpikir?

bagaimana bila mana kau berpikir
bagaimana bila itu hanya sebuah pikir
bagaimana bila sebuah pikir bukanlah suatu yang semu
bagaimana bila berpikir lebih dari sekedar yang semu?

bagaimana bisa suatu pikir hanya kau yang punya
bagaimana bisa pikir yang kau punya lebih dari yang orang lain punya pikir
bagaimana bila sebuah pikir bukanlah tentang cuma kamu seorang
bagaimana bisa pikir yang kau punya melulu tentang kamu seorang?

bagaimana bila mana kau berpikir bukan melulu tentang kamu
bagaimana bisa itu hanya sebuah pikir?

bagaimana bila sebuah pikir yang lebih dari sekedar semu bukanlah tentang kamu seorang
bagaimana bisa pikir yang melulu tentang kamu?



--mari berpikir tentang lain yang bukan melulu tentang kamu--



June 21, 2011

abstraksi jiwa

terinjak keadaan langit, saat kelam pudar
beraturan nafas-nafas berlalu,
seiring iring-iringan pujian untuk anugerah dan syukur
sesingkat lidah kecap jentik asam

terbanglah segala yang nyata,
dimensi keberartian ditemukan kehilangan artinya

nyata segala kemungkinan,
memori merangkum segala praduga
genggam segala yang ada, pun apa mungkin?
'pabila nyatanya tidak ada pribadi yang suci

jejak biru, terbesit memerah
menghitam, dan keabu-abuan
simbolik dalam padanan warna
tersembunyi bagi yang buta cahaya

hilanglah...


June 17, 2011

kamus perbedaan dalam berteman

perbedaan?

itu cuma menjadi kekentalan yang mereka nikmati bagaikan kopi hangat yang diteguk secara perlahan hingga bersisa ampas yang tertinggal di cangkir mereka.


---sedang menikmati secangkir kopi hangat---


June 7, 2011

Jejek-jejak Gelap (... dan fungsi)

Previous Chapter: Jejak-jejak Gelap (Intro)



Suara itu kembali datang di malam ini. Memecah sunyi dalam gelap kamarmu. Tak kutahu siapa nama gerangan suara itu. Kunamakan saja suara itu Suara Gelap.

"Hai sobat" Suara Gelaplah yang pertama berkata.

"Kau datang" terka ku pada Suara Gelap.

"Ya ini aku. Dalam gelap kamarku, inilah aku yang bersuara" jelas Suara Gelap.

"Adakah wujudmu adalah abstraknya tak bersosok?" tanyaku.

Jejek-jejak Gelap (Intro)

Ini malam begitu gelap dalam kamar. Seperti ada yang hendak berkata. Maka kupersilahkan dia berkata. Dalam gelap kupersilahkan dia berbicara.

"Berbicaralah!" pintaku

Hampir,

Hampir,

Hampir pagi, namun belum pagi. Sudah bangun, tapi tak berarti hampir bangun. Benar-benar bangun. Adalah Dia yang benar-benar bangun dan hampir pagi.

Jikalau saja ada kata yang tersisa dari kesuksesannya dahulu, tentulah hanya kata PENYESALAN yang tertinggal. Tertinggal untuk diratapi, dikenang, dan kembali lagi untuk diratapi. Tatapannya kini pun tak lagi seperti optimisme kala masa pengangkatannya dulu jadi pegawai kelas menengah. Saat mencoba ingin membohongi dirinya sendiri, bahwasanya Dia masih terangkat hingga kini, hanya desah kelu "huh..." yang keluar dari mulutnya.

angin

malam ini aku bagai angin.
terbang... melayang
dalam gelap... menuju asal sinaran malam

malam ini aku bagai angin
dingin... semilir
menjauh bumi... membumbung sendiri

malam ini aku bagai angin
berhembus... berarak
tak statis ... pula hilang arah 

malam ini aku bagai ...
eksistensi ada namun tiada

June 2, 2011

buta

dan 'pabila buta

aku takut..., takut kehilangan cahaya
cahaya yang pada balik kedua bola mataku ini,
tentang apa yang nantinya akan tak dapat kualami,
tentang seharusnya aku yang dapat melihat,
tentang setiap kesimpulan dari penglihatan,
tentang suatu penilaian sempurna karena melihat seksama,
tentang keberartian memandang tanpa bias pengaruh orang lain,
tentang melihat kejujuran, tentang kejujuran, tanpa pengaruh orang lain
tentang cahaya penglihatan

jangan.... jangan sampai aku...
buta

source picture: Internet


May 23, 2011

pencari keterbukaan III

Previous chapter: pencari keterbukaan II 

EMPAT

aku mencari keterbukaan

Sebuah surat telah kuterima dari seorang gadis. Gadis cantik dalam definisiku, karena nyatanya teman-temanku tak setuju bahwa cantik itu kata yang tepat dialamatkan kepada gadis yang satu ini. Ragu aku membuka surat ini. Ada ketakutan yang menghantuiku seketika surat ini kuterima. Karena baru saja kemarin kami bertengkar begitu hebatnya, dan itulah pertengkaran terhebat sepanjang sejarah relasiku dengan si gadis cantik.

Nyatanya yang tertutup ini harus terbuka juga.

Walau ada ketakutan akan isi surat yang nantinya isi surat ini bisa saja menyakitkan ataupun merugikanku. Surat yang tertutup itu akhirnya terbuka juga oleh kedua tanganku. Tahulah aku, setelah baca surat, inilah akhir perjalanan ceritaku bersama si gadis cantik. Si gadis cantik memutuskan untuk mengakhiri sesuatu yang masih terus kupertahankan. Hubungan kami.

Dan ketika surat yang tertutup telah terbuka -dan dibaca-,  maka terimalah konsekuensi akibat terbukanya surat beserta pesan yang tertulis di dalamnya.

Menyedihkan... juga merugikanku... itulah konsekuensi dari keterbukanya surat yang kuterima dari si gadis cantik

Keterbukaan yang hadirkan konsekuensi.



aku pencari keterbukaan



TO BE cOntinuE....

May 10, 2011

gila kita bersama muka dewa

memusing segala perkara
entah yang indah, atau yang berkesan sepi

nelangsa peristiwa sejenak
suka berhari-hari penuh

adakah yang lebih indah dari kebersamaan?

aku teringat, entah mengapa
sengaja kita sepakat lukis gambar dewa,
dalam mabuk kita berdua, kita lukis sebuah muka
satu muka: setengah muka ku, setengah muka mu

setengah mabuk kau berkata:
"lihat, dewa ini mirip sekali denganmu"

aku terlampau mudah mabuk sepenuhnya, jua berkata:
"tidak, aku tak secakap dalam gambar ini. Kurasa muka dewa ini menitis jadi engkau"

--tertawa bersama--

--saling berpandangan, tunjuk muka satu sama lain--

--kembali tertawa bersama--

kecewa tak bisa hindarkan kenangan,
terangkai dalam bingkai biru,
yang hanya ada di dinding waktu

sedikit jarak, sedikit waktu, memadu jadi satu
menjelma jadi kesendirian
juga begitu rapuh, mudah tersapu angin rindu

--melihat ke arah gambar dewa--

--kembali tertawa bersama--

--mata mengantuk redup--

temanku telah jadi mabuk, sempat berkata:
"janganlah kita berdebat untuk hal sepele;
karna kita tahu dalam mabuk kita berdua,
telah jadi dewa bersama, dalam satu muka,
kau dan aku"

aku ucapkan kata penghabisan sebelum tertidur dalam mabuk:
"sungguh kita tak perlu dewa,
karna kita tahu dalam mabuk kita berdua,
dewa tak lebih dari kita berdua,
dia bukan kau, juga bukan aku,
karna dua muka kita"

--aku tertidur--

--temanku tertidur--

--gambar dewa jadi alas tidur kami--

kebersamaan begitu kokoh,
tak juga kesadaran yang jadi pegangan,
karna dalam bawah alam sadar kita bersama

sedikit waktu, sedikit jarak, memadu jadi satu,
menjelma jadi kebersamaan,
dalam kemabukan rindu terhadapmu

May 10, 2011

pencari keterbukaan II

May 4, 2011 
Previous chapter: pencari keterbukaan 1

TIGA

tok..tok..tok...
demikian bunyi dari pintu yang ku ketuk. Tak berselang dari dalam terdengar suara

"Siapa di sana?"

"Tak bisakah Anda membuka terlebih dahulu, sebelum hendak Anda bertanya padaku?" jawabku.

Akupun mencoba mengintip dari nako jendela samping pintu. Itupun tak dapat kutelusuri pandanganku ke dalam, sebab horden menghalangi. Demikian juga orang yang tadi berkata: "Siapa di sana?", tentulah tak dapat melihatku jikalau dia melakukan hal yang sama -- berusaha mengintip siapa lawan bicaranya.

Lalu muncullah lagi suara yang dari dalam itu berkata : "Tidakkah seharusnya Anda dapat menjawab pertanyaanku ketimbang mengajukan persyaratan: 'Tak bisakah Anda membuka terlebih dahulu, sebelum hendak Anda bertanya padaku?'?"

damai

di bawah sebuah taman,
rindang dan sejuk,
tak bising,
juga tak tergesa
tak tertekan,
juga beri ketenangan,

di bawah mendung,
sepi dan tiada riuh,
tak terik,
juga tak membakar
tak menuntut,
juga beri kesyahduan

di bawah senja
kemilau dan memerah,
tak menyilaukan,
juga tak membutakan
tak memaksakan,
juga beri keramahan

dalam damai,
terasa asing segala bahasa manusia
dalam damai,
terasa bahasa alam capai nirwana

May 5, 2011

may day

dasar kamu manusia
sudah berkeringat punya kerja, tapi perlu bersuara
yang dikira punya perkara
tentang  hidup kurang dari seadanya,
tentang keadilan sosial semata,
dasar kamu yang bersuara
menggema sayup nelangsa
tentang diri kamu yang manusia

dasar binatang
penuai keringat pekerja, yang adalah para manusia
selalu saja angap tiada perkara
melulu tentang kesejahteraan naluri memangsa saja
melulu tentang tekanan malam berfoya,
dasar kamu naluri pemangsa
mengaum sekali, hormat kamu sebanyak riba
tentang diri kamu yang binatang



May 2, 2011

kerangkeng

yang 'ku lihat
kamu yang sedang bekerja,
giat dan keras luar biasa

jam sembilan malam dari jam tangannya yang kulihat

namun tak demikian yang 'ku rasa
kurasa kamu sedang merindu panjang umurmu
kar'na itu kamu kerja

singkat umurmu teruntuk dunia luar kerja

semoga panjang umurmu
di bumi yang padanya kamu bekerja

dari surga
mereka-mereka yang suci melihat
dan berujar singkat:
"orang yang demikian tak akan masuk sekutu kita"

dari surga
mereka-mereka yang suci dapat merasa
sedemikian padat perasaan mereka, dan kembali berujar
"orang yang demikian tak akan masuk sekutu kita"

April 22, 2011

tentang bayang



Di jalan-jalan siang hari, bayang-bayang berserak di jalan
tak perlu seksama selidik rupa bayang,

semua sama seperti adanya, hitam, tapi berbentuk
tak bermata, apakah bermakna?

semua sama seperti adanya, hitam, tapi bergerak
tak menetap, sudikah mendekat?

Di jalan-jalan sepanjang jalan,
kelam memekat hitam,
semu bergema tak bersarang,
tibalah malam

jikalau malam telah tiba,
hendak dipajang dimanakah bayang?

dan bayang tak bercahaya, namun perlu sinaran
pun tak menarik, namuk tak berarti tak dilirik

dan tentang bayang
yang semua kita tahu
selalu perlu penampang

May 2, 2011

Kebas Pantat, Belas Kasihan, dan Ketek Setan

(jurnal seorang pengemudi motor berplat B)


Matahari kembali terang di atas segala kemungkinan langit yang terik. Aku terdiam keletihan. Tak habis juga perjalanan yang kutempuh sejak sedari tadi.

Sebuah warung di pinggiran jalan akhirnya kutemukan. Aku berhenti. Lalu memesan sebuah botol beserta teh dingin dalamnya. Mulutku menghirup teh itu. Segar. Juga nyeri seketika itu juga perutku. Baru kusadari, sehabis bangun tadi pagi, tak sempat ku santap makanan pembuka bumi ku. Sarapan.

Sehabis kuhisap cair-cair semua isi teh dingin dalam botol itu, aku bayar, lalu bergegas menghidupkan teman beroda dua. Motor berplat B kepunyaanku. Satu-satunya.

Sempat terpikir untuk membeli motor dalam ukuran yang lebih besar, lebih gagah. Tapi kuurungkan, lantaran tak sanggup ku dibuat pusing nantinya. Pusing karena akan bingung motor yang mana yang harus kupakai saat hendak ingin menyusuri jalan raya. Yang tua, yang telah kupunya dari zaman SMA kah? atau motor dengan ukuran yang lebih besar? yang nyatanya masih saja dalam angan tentang motor gagah itu sendiri. Peduli ketek setanlah! Aku bingung untuk hal yang demikian!!!

jikalau nanti tua

Lantaran bosan karena kemampuan otaknya tak mampu mengimbangi dongeng nonstop si Ibu Guru Tua yang sedang mengajar di depan kelas, si Anak memutuskan untuk menjahili si Teman Sebangku yang sedang asik-asiknya menghayalkan pelajaran sejarah yang diterangkan oleh si Ibu Guru Tua. Si Anak mencabut satu bulu tangan si Teman Sebangku dengan gerakan yang gesit.

"Aww.....!#$#!@#!#$!!!" ringkik si Teman Sebangku. Seketika pusat perhatian kelas tertuju kepada mereka, juga demikian berhentilah dongeng Napoleon Bonaparte dari si Ibu Guru Tua.

"Ada apa?"  tanya si Ibu Guru Tua perihal ringkikian anak didiknya di tengah-tengah cerita sejarah Napoleon Bonaparte yang sedang diceritakannya.

"E.... - e..e..." dengan terbata-bata si Teman Sebangku berusaha menjawab. Tak mampu mengeluarkan kata lagi untuk menjawab pertanyaan si Ibu Guru Tua, si Teman Sebangku menoleh singkat kepada si Anak, memohon bantuan. Sedang si Anak menunduk, dengan tertunduk mencoba menyembunyikan letusan tawa yang terlanjur keluar. Tawa tanpa suara.

Melihat tiada harapan akan bala bantuan dari si Anak, maka otak kecil si Teman Sebangku memutuskan untuk menghadapi sendirian pertanyaan si Ibu Guru Tua yang diajukan kepadanya.

"Tidak Ibu Guru Tua, saya hanya begitu terlarut dengan cerita terbunuhnya Napoleon. Bener deh Ibu Guru Tua, saya tadi begitu terlatur ke dalam cerita ibu" si Teman Sebangku mencoba ngeles.

Si Anak menyumpal mulutnya dengan kedua tangannya. Menahan tawa. Sementara si Ibu Guru Tua merasa puas untuk jawaban yang diberikan oleh anak didiknya itu dan kembali melanjutkan ceritanya.

"Jangan jahil dong" bisik Teman Sebangku.

"Sori, namanya juga anak muda. Kagak tahan kalau kagak berbuat jahil" Si Anak tersenyum bangga akan kemudaannya, merasa alasan yang dibuatnya cukup benar untuk menjadi pembenaran.

"Dasar lu" si Teman Sebangku memaklumi sikap liar si Anak.

"Ngomong-ngomong tentang masa muda, gua jadi kepikiran tentang masa tua kita nanti" si Teman Sebangku berbisik.

Celoteh jemput pagi

Dari tempat tertinggi,
segala sesuatu yang dapat mengalir berarak turun mendekat

Dari tempat yang lebih rendah,
segala sesuatu yang dapat mendaki berusaha beranjak memanjat

Demikian mereka yang nyaman di tempat tertinggi zona hidupnya,
tak dapat mengelak untuk memberi tangan pada yang di bawahnya.

Sedang mereka yang gundah dalam peraduan terendahnya,
beruSaha rubah asa menggapai pengharapan yang ada dalam diri

Di mana dan seperti apa keberadaanmu,
jadilah berkat seperti yang telah dirancang-Nya

Lagi pula, siapa yang dapat menghindari-Nya?

BENDERA

Dengan keceriannya sepulang dari kunjungan ke Taman Makam Pahlawan, sang anak menunjukkan buah tangan yang di tangan mungilnya. Sedang sang ayah sedang mengikat bendera pada tali tiang bendera, berniat menerbitkan bendera di atas tiang bendera di pekarangan rumahnya.

Ini bukanlah cerita tentang seorang anak dan ayahnya yang nasionalis, anti komunis, dan tak bernyawa liberalis. Tidak!

Ini tidaklah tentang ada atau tidaknya jiwa nasionalis pada diri mereka, atau tidak adanya paham liberal pada sisi pemberontakan seorang anak kecil --yang bahkan tak dia tau apa yang hendak disuarakannya dalam nilai berontaknya itu--, atau bagaimana tentang umumnya seorang ayah yang mengagungkan kesejahteraan sosial dalam kisah sosialis sejurus dengan komunis.


"Ayah lihatlah apa yang kubawa"

"Ya, ayah melihat apa yang kamu bawa, anakku" Sang ayah masih mencoba menguatkan simpul ikat bendera yang dibuatnya. Bendera yang hanya terbuat dari kain semata.

"Aku membawa bendera dari taman makam pahlawan. Kurasa bendera yang kupunya ini lebih hebat dari bendera yang ada di tangan ayah" Sang anak membanggakan replika bendera yang terbuat dari triplek, buah tangan pengalaman pertama kunjungan dari Taman Makam Pahlawan.

Ayah yang telah berhasil membuat simpul pada tali tiang bendera, lalu melanjutkannya mengerek bendera yang terbuat hanya dari kain. Sang anak mengadah ke atas, mengikuti laju bendera yang terkerek menuju ujung tertinggi dari tiang bendera. Tak berbicara lagi kini keduanya. Tak ada suara, tapi bukan juga karena mereka sedang apel layaknya apel PNS (yang katanya adalah seorang nasionalis pengabdi, abdi negara), atau upacara kibar bendera di sekolah (tempat mendidik paham nasionalisme). Sesampainya bendera --yang hanya terbuat dari kain-- di ujung tertinggi, kedua manusia ini mengakhiri keikutsertaan pandangan mereka pada tiang bendera.

Melambai-lambai dengan begitu lincahnya bendera di ujung tertinggi tiang kala itu

Bukankah bendera sudah sampai di atas sana, apa lagi yang dapat menghentikan keeratan dua manusia satu darah itu untuk saling bercengkrama layaknya seorang ayah dan anak? Dan bukan layaknya seorang nasionalis.

"Lebih hebat katamu, anakku?" Sang ayah mencoba memulai kembali pembicaraan yang sempat terhenti tadi.

"Iya ayah. Coba perhatikan betapa bendera yang kupunya begitu kokoh, terpaan angin tak sanggup menggoyangkannya. Karena memang bendera yang kupunya terbuat dari kayu. Lebih kokoh kulihat. Dan juga, warna yang melekat pada benderaku tak akan luntur sebagaimana yang biasa terjadi pada bendera yang hanya terbuat dari kain semata" celoteh sang anak.

"Hmmm... benar adanya yang kau bilang anakku. Bendera yang kau punya takakan bisa melambai-lambai sewaktu diterpa angin. Juga tak bisa luntur, karena warna yang menghiasinya begitu menyerap di antara serat-serat kayu benderamu itu"

"Kalau ayah pun setuju dengan yang ku katakan, lalu kenapa tidak dari sekarang mari kita gunakan bendera yang kupunya ini kita gunakan sebagai ganti bendera kain ayah itu? Lihatlah, warna yang mulai pudar yang ada padanya. Dan mengapa pula bendera kain yang ayah punya hanya melambai-lambai saja, padahal baru saja angin yang menghampiri keberadaannya. Melambai-lambai, seakan sedang mengajak orang untuk mendekat, dan mengagumi tarian dari hasil terpaan angin yang meniup keberadaannya."

"Namun anakku, apalah arti ketidakmelambaian yang dipunya bendera kaku-mu itu? Dia tak dapat melambai, sehingga benderamu itu tak bisa menari dalam terpaan angin. Dan akankah orang mendekat dan memperhatikan keberadaan bendera seandainya saja tak dapat dia melambai-lambai kepada orang?" Sang ayah memperhatikan lambaian bendera kain yang berada di ujung tertinggi di tiangnya itu.

"Juga mengenai betapa kaku bendera yang kau miliki, tak bergeming saat angin menghampiri. Perlukah lagi suatu ketidakbergerakan yang dimilikinya, kekakuan benderamu itu, bisa menjadi panutan karena tak sanggup benderamu itu menyesuaikan keadaan yang sedang terjadi di sekitarnya"

"Maksud ayah?"

"Saat angin datang menerpanya, entah itu angin sepoi ataupun deras angin, dia tetap saja tak bergerak. Sama seperti tak bergeraknya benderamu saat tak ada angin sekalipun juga. Jadi bagaimana orang-orang dapat melihat bahwa di sekitar bendera sedang terjadi peristiwa-peristiwa yang sedang mengancam keberadaan si bendera"

"Justu itulah yang kumaksud, ayah. Bendera yang kupunya sanggup tegak berdiri setegak-tegaknya, saat apapun yang sedang menerpanya"

"Anakku,. Bendera yang kupunya, yang terbuat dari kain, mampu mengajak orang untuk tahu bahwa apa yang sedang terjadi disekitarnya. Bahwa saat bendera melambai artinya sedang ada sesuatu yang terjadi di sekitarnya, bahwa ada angin yang menerpanya. Saat angin begitu derasnya menerpa, dia akan segera begitu lincahnya melambai-lambai kepada orang banyak, dan orang banyak akan segera mawas tentang keadaan benderanya. Sedang jika angin sedang menerpa dengai sepoi semata, dia akan memberitahu dengan lambaian kecil, sekadar memberitahu ancaman kecil yang sedang diterimanya dari angin."

"Apakah baiknya jika dia memberi tahu kesemuanya itu kepada semua orang, ayah?"

"Bagi mereka yang menghormati bendera, maka orang itu akan mendekat dan segera menerima pertanda yang sedang diberikan oleh benderanya itu" sang ayah memandang tiang bendera, lalu hormatnya teruntuk bendera di ujung tertinggi.

Melambai-lambai dengan begitu lincahnya bendera di ujung tertinggi tiang kala itu.

Sang ayah menerima pertanda dari benderanya. Bendera yang terbuat hanya dari kain itu.


Karna jikalau bendera adalah tonggak pertama dari suatu eksistensi suatu bangsa, mampukah dia memberitahu bahwa angin sedang menerpa dengan sedemian rupa?

Benderakah dia, jikalau hanya berdiri setegak-tegaknya di atas ujung tertinggi tiangnya?
Search Engine Optimization