header photo

jikalau nanti tua

Lantaran bosan karena kemampuan otaknya tak mampu mengimbangi dongeng nonstop si Ibu Guru Tua yang sedang mengajar di depan kelas, si Anak memutuskan untuk menjahili si Teman Sebangku yang sedang asik-asiknya menghayalkan pelajaran sejarah yang diterangkan oleh si Ibu Guru Tua. Si Anak mencabut satu bulu tangan si Teman Sebangku dengan gerakan yang gesit.

"Aww.....!#$#!@#!#$!!!" ringkik si Teman Sebangku. Seketika pusat perhatian kelas tertuju kepada mereka, juga demikian berhentilah dongeng Napoleon Bonaparte dari si Ibu Guru Tua.

"Ada apa?"  tanya si Ibu Guru Tua perihal ringkikian anak didiknya di tengah-tengah cerita sejarah Napoleon Bonaparte yang sedang diceritakannya.

"E.... - e..e..." dengan terbata-bata si Teman Sebangku berusaha menjawab. Tak mampu mengeluarkan kata lagi untuk menjawab pertanyaan si Ibu Guru Tua, si Teman Sebangku menoleh singkat kepada si Anak, memohon bantuan. Sedang si Anak menunduk, dengan tertunduk mencoba menyembunyikan letusan tawa yang terlanjur keluar. Tawa tanpa suara.

Melihat tiada harapan akan bala bantuan dari si Anak, maka otak kecil si Teman Sebangku memutuskan untuk menghadapi sendirian pertanyaan si Ibu Guru Tua yang diajukan kepadanya.

"Tidak Ibu Guru Tua, saya hanya begitu terlarut dengan cerita terbunuhnya Napoleon. Bener deh Ibu Guru Tua, saya tadi begitu terlatur ke dalam cerita ibu" si Teman Sebangku mencoba ngeles.

Si Anak menyumpal mulutnya dengan kedua tangannya. Menahan tawa. Sementara si Ibu Guru Tua merasa puas untuk jawaban yang diberikan oleh anak didiknya itu dan kembali melanjutkan ceritanya.

"Jangan jahil dong" bisik Teman Sebangku.

"Sori, namanya juga anak muda. Kagak tahan kalau kagak berbuat jahil" Si Anak tersenyum bangga akan kemudaannya, merasa alasan yang dibuatnya cukup benar untuk menjadi pembenaran.

"Dasar lu" si Teman Sebangku memaklumi sikap liar si Anak.

"Ngomong-ngomong tentang masa muda, gua jadi kepikiran tentang masa tua kita nanti" si Teman Sebangku berbisik.

"Loh, maksud lu apaan? Abstak banget si lu" Si Anak bertanya balik.

"Maksud gua, apa karena nanti kita sudah tua kita gak boleh berbuat jahil? Kan tadi elu bilang sendiri, karena masih muda jadi nggak pa-pa kalau berbuat jahil"

"Emmm... iya juga yah" si Anak melihat si Ibu Guru Tua yang masih saja mendongeng kisah muram nasib Napoleon di penghujung ajalnya yang terasing dan kesepian saat diasingkan di St.Helena.

"Lah, elu gimana sih? Bukannya elu sendiri yang bilang kalau waktu kita masih muda itu gak pa-pa untuk jahil?"

"Iya juga ya" Raut si Anak menunjukkan posisi berpikir, mencoba mengarang alasan kuat tentang makna dibalik ucapan yang sudah terlanjur diucapkan kepada si Teman Sebangku. Makna yang coba dibuat setelah kalimat terlanjur dibuat.

"Maksud gua begini. Lu lihat aja tuh si Ibu Guru Tua" si Anak menunjuk ke si Ibu Guru Tua.

"Lihat apanya? gua juga tau kalau dia emang udah tua" si Teman Sebangku keheranan.

"Maksud gua, mungkin umur tua adalah masa yang membosankan seperti si Ibu Guru Tua itu. Hidup datar, tak bebas seperti kita, dan parahnya lagi... masa tua membuat kita gak bisa buat jahil lagi"

"Ah... itukan karena kau ambil contoh dari apa yang lu lihat di depan" timpal Teman Sebangku.

"Yah, mana tau gambaran semua orang yang beranjak tua itu sama seperti nasib si Ibu Guru Tua itu"

"Ah tak taulah aku" Dengan cepat si Teman Sebangku menimpali.

"Coba kau perhatikan" si Anak mencoba meyakinkan si Teman Sebangku.

Teman sebangku memperhatikan seksama si Ibu Guru Tua.

"Perhatikan apa lagi?" tanya Teman Sebangku

"Bisa jadi gambaran orang yang sudah tua itu adalah orang yang hanya mampu bercerita tentang masa muda yang telah dia jalani. Dan lebih parahnya lagi, seandainya saja masa muda yang telah orang itu jalani tak menyimpan kisah untuk diceritakan, maka orang tersebut hanya mampu menceritakan kembali kisah hidup orang lain. Ya seperti si Ibu Guru Tua di depan. Kurasa masa mudanya tak ada kisah menarik yang mampu diceritakannya untuk kita, makanya dia hanya mampu mengisahkan masa muda orang lain,  cerita tentang Napoleon Bonaparte itu"

"Masa sih sesedih itu nasib si Ibu Guru Tua itu?" empati secara singkat menghinggapi relung hati si Teman Sebangku.

Angin berhasil menerobos masuk dari sela-sela jendela kelas, menghampiri kulit si Teman Sebangku. Bulu kuduknya berdiri, seakan menambah gambaran suram tentang pahitnya kenyataan menjadi orang tua. Si Teman Sebangku terlanjur percaya akan setiap argumen yang diberikan oleh si Anak. Dan setelah angin berlalu dari bulu kuduknya, si Teman Sebangku berketetapan untuk menjahili siapa saja. Selagi ada kesempatan. Demi terciptanya kisah untuk dia ceritakan sendiri di masa tuanya nanti. 

Dan jikalau tua nanti, maka ada cerita dari masa muda untuk diceritakan. Dan sebelum kisah itu diceritakan di masa tua nanti, adalah kenangan yang harus dijaga tentang masa muda, tentang hidup, dan tentang apa yang membentuk diri menjadi tua. Bahkan saat menjadi tua sebelum saatnya menjadi tua.



Dan sebelum kisah itu diceritakan di masa tua nanti, adalah kenangan yang harus dijaga tentang masa muda, tentang hidup, dan tentang apa yang membentuk diri menjadi tua.


Tuesday, April 12, 2011

1 komentar:

sukasukaaja mengatakan...

tulisan ini menarik sekali....

Search Engine Optimization