header photo

Tentang Natal dan kerumitannya


Tumitku sungguh lemah, tak kuasa lagi menapak tanah yang mana sebelumnya talah terjejak jejak tanah dari langkah kakiku sendiri. Seperti hal yang sudah-sudah terulang lagi, bagai lingkaran yang kembali menepukan poros awal dimulainya garis melengkung tak berujung itu. Sungguhkah perlu kesemuanya ini dilakukan? Maksudku adalah Natal dengan segala kerumitannya. Kerumitan yang berpola dan telah ada sebelumnya. Tidakkah ada sebuah kelegaan yang singgah dalam cerita Desember ini? Yang bukan seperti cerita yang berulang-ulang dari yang telah berkesudahan sebelumnya. Yang telah terjalani.


Natal sungguh membuatku seperti...
seperti pohon natal yang terpajang.
Kaku dan hanya berkedip-kedip lampu kecil yang ada padanya. Keindahan yang sesungguhnya tak indah, karena ternyata bukan pohon natal itu sendiri yang beri keindahan bagi dirinya sendiri. Tapi ornamen-ornamen yang melekat padanyalah yang memberi keindahan. Seperti lampu-lampu yang menempel padanya jadi pusatnya.

Sesungguhnya, baik bila aku menjadi kandang domba. Hina sehina-hinanya, bau-sebau-baunya, jorok-sejorok-joroknya.

Dengan harapan, Sang Bayi Yesus sudi lahir dalam kandang yang seperti kuharapkan. Harap-seharap-harapnya.

Natal senatal-natalnya.

0 komentar:

Search Engine Optimization