Sebuah lanjutan dari Kisah si anak pantai (Part II: Hampir Saja)
Kembali ke pantai
kulihat karang tetap berdiri
tegar dan tak beranjak
dalam amarah, ku tetap memantau
ombak yang lancang menerpa karang
kulihat dalam berbagai rupa
tenangnya gejolak laut di tengah sana
kulihat tipu daya memangsa
lihat betapa malang yang karam di dalamnya
akankah dapat berubah apa yang sudah d iatur alam?
dalam kemalangan aku mamandang
dewa laut telah menhampiri
berbagai kemalangan serasa menegurku
dalam rupa kemalangan
aku kempali ke tepian
menunjukkan rupaku menghapiri dewa laut
mari kita berbicara mengenai kemujuran
akankah kutarik kata yang t'lah terucap?
akankah nurani ini jengah menghadap kemalangan?
aku bersama ragaku,
aku akan tetap bertahan.
kuhampiri kau kini
dewa laut pembawa kemalangan
tipu daya kemalangan hanyalah gelombang yang tenang
tak kan ku karam dalam sesal
akan kutantang dewa laut
Demikianlah sebuah sajak kembali terlantunkan dari mulut si anak pantai. Sebuah sajak yang kembali dia lemparkan ke arah laut di depannya. Total kini dua buah sajak sudah keluar dari mulu tteorang anak pantai yang memiliki otak titisan Khalil Gibran di dalam tempurung kepalanya.
Di raihnya sebuah batu, dilemparkannya tepat ke arah Laut lepas. "Mari, sini kalau kau memang berani. Lihat aku di sini! Hadapi aku, hey kau dewa laut pengecut!!!"
"Hey anak muda...!" Sebuah suara terdengar sayup-sayup di telinga si anak pantai.
"Oh ternyata kau mendengarku. Mari kemari, hadapi aku. Tunjukkan rupamu!" balas si anak pantai.
"Oh ternyata kau mendengarku. Mari kemari, hadapi aku. Tunjukkan rupamu!" balas si anak pantai.
"Hey anak muda ...!" Kembali suara itu terdengar, tapi kali ini suara itu semakin terdengar jelas di telinga si anak pantai, suara itu semakin mendekat, dan si anak pantai kini mengerti dari arah mana suara itu berasal. Ternyata suara itu bukanlah dari Laut lepas, yang dalam pikiran si anak pantai adalah balasan dari si dewa laut. Suara itu berasal dari arah belakang dirinya, dan ketika dia lihat, ternyata si Pencabut Nyawa terlihat berlari mendekati dirinya.
Merasa dirinya terancam oleh Pencabut Nyawa, si anak pantai tanpa banyak berpikir langsung mengambil sebuah keputusan yang dia rasa cerdas. Si anak pantai berlari kabur. Seorang anak pantai yang dengan gagahnya menantang dewa laut ternyata harus lari lantaran ketakutannya terhadap sesosok pencabut nyawa yang bahkan belum dia kenal. Sesosok pencabut nyawa yang dia tahu pada saat setengah sadarnya akibat benturan beruntun yang dia alami. Sesosok pria yang sekejab menciutkan jiwa pemberani menantang dewa laut, yang dia sangka sebagai biang keladi dari segala kemalangannya (termasuk juga mengutus si Pencabut Nyawa untuk memburunya). Si anak pantai ternyata melarikan diri. Sebuah pelarian yang menyingkapkan bualan kosong tentang keberanian menantang dewa laut, ternyata membuka tabir si anak pantai yang tak lebih dari seorang pengecut.
Tiba-tiba saja si penulis teringat akan sebuah parodi lutchu di negaran yang entah berantah. Sebuah parodi tentang sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat, dan menyuarakan suara rakyat. Suara yang lantang lantaran mereka pikir itu bisa mencuri hati rakyat, dan membuat harga diri membumbung tinggi. Bersuara, menentang sesuatu yang mereka pikir bisa mencuri hati rakyat... yap sebuah suara yang terlihat gagah dan tidak menunjukkan bualan kosong sedikitpun. Tapi saat tersentil ancaman yang bernamakan "atas nama koalisi" dan bayangan akan "terdepaknya beberapa menteri dari kabinet kornet kloset ... et...et..t...t", maka tersingkaplah bualan kosong tentang keberanian bersuara atas nama rakyat, membuka tabir wakil rakyat yang tak lebih dari seorang pengecut.
Saat mulut berkuasa, segala sesuatu dapat ditutupi.
Saat keadaan genting menyapa, keberadaan manisnya lidah ditelanjangi.
Sesungguhnya jati diri bukan untaian kata.
Tapi saat bersikap menghadapi masalah, itulah realita diri yang sesugguhnya
to be continue
0 komentar:
Posting Komentar