Hari telah malam, tinggal beberapa jam hari akan berganti. Namun sebelum berganti, umumnya manusia menjalani pergantian hari dengan lelap, setidaknya itu dilakukan oleh si anak semata wayang di kamar sederhananya.
"Selamat malam nak" ucap si bapak mengantarkan si anak semata wayang terlelap di kamarnya yang sederhana. Papan berlapis sebagai dinding dan kain bekas seprai disulap menjadi penutup kamar, menggantikan peran pintu yang tak mampu dibeli si bapak.
Mungkin memang benar adanya jika sampai saat ini si bapak tidak membeli dompet. "Dompet kan digunakan sebagai tempat menyimpan uang yang tersisa maupun yang tersimpan tiap harinya. Namun bagi seorang nelayan seperti bapak, yang tidak selalu memiliki uang untuk disimpan tiap harinya, rasanya membeli dompet hanyalah pemborosan semata" demikian jawab si bapak saat si anak semata wayang menunjuk kepada penjual dompet di pasar tradisional.
Kalaupun ada yang di dapat dari hasil tangkapan melaut, toh hanya butuh waktu singkat uang itu untuk berubah menjadi beberapa liter beras; beberapa ikat sayur; beberapa meter kain guna persiapa menambal layar jikalau bolong; beberapa lembar surat hutang yang telah di cap stempel LUNAS oleh tengkulak. Pun juga seandainya cukup, pastglah sudah menjadi peralatan tulis dan satu-dua buku, hasil negosiasi dengan si penjual buku bekas, untuk keperluan si anak semata wayang.
Si anak semata wayang sudah terbuai dengan bunga tidurnya, gerak bola matanya nampak dari balik kelopak mata mungilnya.
Jala yang dipajang di depan rumah dibawa di atas bahunya, langkahkan kaki lalu naik ke perahu. Kepada si daratan, si bapat tak lupa ucapkan "Selamat tinggal daratan".
Sama seperti si bapak, yang mengucapkan selamat tinggal, demikian adanya si angin yang bertiup menuju lautan di malam ini.
Bersama si angin, perahu mulai melangkah, memuat si bapak besertanya.
"Selamat datang" ucap si lautan menyapa si angin dan si bapak yang berapa di atas permukaan. Si ombak yang begitu giat menari dengan gelombangnya di tepi pantai, lama kelamaan mulai enggan menari saat berada di tengah laut lepas.
Jikalau kehidupan di darat menyajikan suka dan duka; kepedihan dan kebahagiaan; kemakmuran dan kemelaratan sebagai ombak yang menerpa si bapak, maka kehidupan di tengah laut hanya menyajikan sebuah garis tipis kematian dan kehidupan sebagai lika-liku pelayaran.
Tiga tahun silam si pemuda, rekan satu perahu si bapak, harus mencicipi bentuk sebenarnya dari kematin. Tiga tahun silam, angin sedang jenuh bertiup mesra. Ada kemarahan, yang entah karena apa, tak bersahabat, menghempas segala benda yang dijumpainya di atas permukaan si laut. Perahu terbalik, si pemuda terbang jauh tertinggal dari perahu. Hendak berenang, apa daya kaki si pemuda terbelit oleh jalanya sendiri. Lupa akan arti kata 'tenang', si pemuda hentakkan kakinya tak karuan. Jala semakin membelit. Tangan si pemuda semakin liar memukul-mukul permukaan si laut. Si laut nampak tak senang oleh kebrutalan tangan si pemuda;lantas ditelannya si pemuda dan dari sanalah si pemuda harus berjumpa dengan bemtuk sebenarnya dari kematian.
Tiga tahun silam, perahunya terbalik, rekan satu perahunya terbang jauh tertinggal dari perahu, si bapak terhenyak menyadari dirinya terapung-apung di bawah perahu yang terbalik. Rekan satu perahunya sudah tak tampak lagi saat si bapak berhasil memerbaiki situasi. Perahunya yang terbalik berhasil dia balikkan lagi, naik ke atasnya namun kini tak dikawani, hanya sendiri. Rekan satu perahunya entah ke mana. Maka, itulah bentuk sebenarnya dari kehidupan bagi si bapak.
Maka saat kematian adalah tiga tahun silam, demikian juga kehidupan adalah malam ini. Jikalau itu diputar, yakni bahwa kehidupan adalah tiga tahun silam, maka kematian adalah malam ini.
Demikian halnya dengan si awan jahat yang sedang bermain dengan nyawa si bapak di malam ini. Si awan jahat menurunkan hujan, si angin menggigil lalu bergerak deras ke sana-sini. Perahu si bapak mulai bergoncang hebat. Si ombak, yang biasanya giat menari di tepi pantai mulai unjuk taringnya di tengah laut lepas. Perahu terbalik seperti tiga tahun silam. Si bapak ,di malam ini, seperti tiga tahun silam, kembali bertahan terapung-apung di bawah perahu yang terbalik. Malam ini tidak ada rekan satu yang terbang jauh tertinggal dari perahu. Sehingga, tidak seperti tiga tahun, jala tidak melilit kaki rekan satu perahu, yang memang tidak ada, melainkan melilit di kaki si bapak. Pun demikian, akhirnya malam ini si bapak bertemu dengan bentuk sebenarnya dari kematian.
Maka saat kematian adalah malam ini, demikian juga kehidupan adalah dua minggu berikutnya dari malam ini. Jikalau itu diputar, yakni bahwa kehidupan adalah malam ini, maka kematian adalah dua minggu berikutnya dari malam ini.
Saat tiada kunjung ada kabar dari laut lepas, dua minggu berikutnya dari malam ini upacara pemakaman, tanpa mayat yg dikubur, sebagai ritual kepergian si bapak, unt sekali dan selamanya.
"Selamat jalan"
"Selamat malam nak" ucap si bapak mengantarkan si anak semata wayang terlelap di kamarnya yang sederhana. Papan berlapis sebagai dinding dan kain bekas seprai disulap menjadi penutup kamar, menggantikan peran pintu yang tak mampu dibeli si bapak.
Mungkin memang benar adanya jika sampai saat ini si bapak tidak membeli dompet. "Dompet kan digunakan sebagai tempat menyimpan uang yang tersisa maupun yang tersimpan tiap harinya. Namun bagi seorang nelayan seperti bapak, yang tidak selalu memiliki uang untuk disimpan tiap harinya, rasanya membeli dompet hanyalah pemborosan semata" demikian jawab si bapak saat si anak semata wayang menunjuk kepada penjual dompet di pasar tradisional.
Kalaupun ada yang di dapat dari hasil tangkapan melaut, toh hanya butuh waktu singkat uang itu untuk berubah menjadi beberapa liter beras; beberapa ikat sayur; beberapa meter kain guna persiapa menambal layar jikalau bolong; beberapa lembar surat hutang yang telah di cap stempel LUNAS oleh tengkulak. Pun juga seandainya cukup, pastglah sudah menjadi peralatan tulis dan satu-dua buku, hasil negosiasi dengan si penjual buku bekas, untuk keperluan si anak semata wayang.
Si anak semata wayang sudah terbuai dengan bunga tidurnya, gerak bola matanya nampak dari balik kelopak mata mungilnya.
Jala yang dipajang di depan rumah dibawa di atas bahunya, langkahkan kaki lalu naik ke perahu. Kepada si daratan, si bapat tak lupa ucapkan "Selamat tinggal daratan".
Sama seperti si bapak, yang mengucapkan selamat tinggal, demikian adanya si angin yang bertiup menuju lautan di malam ini.
Bersama si angin, perahu mulai melangkah, memuat si bapak besertanya.
"Selamat datang" ucap si lautan menyapa si angin dan si bapak yang berapa di atas permukaan. Si ombak yang begitu giat menari dengan gelombangnya di tepi pantai, lama kelamaan mulai enggan menari saat berada di tengah laut lepas.
Jikalau kehidupan di darat menyajikan suka dan duka; kepedihan dan kebahagiaan; kemakmuran dan kemelaratan sebagai ombak yang menerpa si bapak, maka kehidupan di tengah laut hanya menyajikan sebuah garis tipis kematian dan kehidupan sebagai lika-liku pelayaran.
Tiga tahun silam si pemuda, rekan satu perahu si bapak, harus mencicipi bentuk sebenarnya dari kematin. Tiga tahun silam, angin sedang jenuh bertiup mesra. Ada kemarahan, yang entah karena apa, tak bersahabat, menghempas segala benda yang dijumpainya di atas permukaan si laut. Perahu terbalik, si pemuda terbang jauh tertinggal dari perahu. Hendak berenang, apa daya kaki si pemuda terbelit oleh jalanya sendiri. Lupa akan arti kata 'tenang', si pemuda hentakkan kakinya tak karuan. Jala semakin membelit. Tangan si pemuda semakin liar memukul-mukul permukaan si laut. Si laut nampak tak senang oleh kebrutalan tangan si pemuda;lantas ditelannya si pemuda dan dari sanalah si pemuda harus berjumpa dengan bemtuk sebenarnya dari kematian.
Tiga tahun silam, perahunya terbalik, rekan satu perahunya terbang jauh tertinggal dari perahu, si bapak terhenyak menyadari dirinya terapung-apung di bawah perahu yang terbalik. Rekan satu perahunya sudah tak tampak lagi saat si bapak berhasil memerbaiki situasi. Perahunya yang terbalik berhasil dia balikkan lagi, naik ke atasnya namun kini tak dikawani, hanya sendiri. Rekan satu perahunya entah ke mana. Maka, itulah bentuk sebenarnya dari kehidupan bagi si bapak.
Maka saat kematian adalah tiga tahun silam, demikian juga kehidupan adalah malam ini. Jikalau itu diputar, yakni bahwa kehidupan adalah tiga tahun silam, maka kematian adalah malam ini.
Demikian halnya dengan si awan jahat yang sedang bermain dengan nyawa si bapak di malam ini. Si awan jahat menurunkan hujan, si angin menggigil lalu bergerak deras ke sana-sini. Perahu si bapak mulai bergoncang hebat. Si ombak, yang biasanya giat menari di tepi pantai mulai unjuk taringnya di tengah laut lepas. Perahu terbalik seperti tiga tahun silam. Si bapak ,di malam ini, seperti tiga tahun silam, kembali bertahan terapung-apung di bawah perahu yang terbalik. Malam ini tidak ada rekan satu yang terbang jauh tertinggal dari perahu. Sehingga, tidak seperti tiga tahun, jala tidak melilit kaki rekan satu perahu, yang memang tidak ada, melainkan melilit di kaki si bapak. Pun demikian, akhirnya malam ini si bapak bertemu dengan bentuk sebenarnya dari kematian.
Maka saat kematian adalah malam ini, demikian juga kehidupan adalah dua minggu berikutnya dari malam ini. Jikalau itu diputar, yakni bahwa kehidupan adalah malam ini, maka kematian adalah dua minggu berikutnya dari malam ini.
Saat tiada kunjung ada kabar dari laut lepas, dua minggu berikutnya dari malam ini upacara pemakaman, tanpa mayat yg dikubur, sebagai ritual kepergian si bapak, unt sekali dan selamanya.
"Selamat jalan"
Selat sunda, 28 Juni 2010
0 komentar:
Posting Komentar